Sabtu, 19 April 2014

Melacak Akar Historis Lahirnya Shi'ah-Khawarij (dalam perspektif W.Montgomery Watt)

A.    PENDAHULUAN

    Pelacakan terhadap akar historis munculnya Shi’ah – Khawarij menjadi sangat signifikan, untuk menghindari bias dalam memahami sejarah perkembangan aliran pemikiran dalam Islam. Namun demikian, telah terjadi keragaman pendapat yang diutarakan para sejarawan dalam menjelaskan awal mula lahirnya aliran-aliran tersebut, misalnya terdapat berbagai versi tentang lahirnya sekte Shi’ah.[1] Terlepas dari adanya keragaman pendapat tersebut, tampaknya para sejarawan sepakat bahwa istilah Shi’ah diberikan terhadap mereka yang bergabung dengan kelompok Ali bin Abi Thalib sekaligus pengikut setianya. Kelompok ini meyakini bahwa Ali bin Abi Thalib inilah yang sangat berhak untuk menjadi pengganti Nabi Muhammad sepeninggalnya,[2] dengan berbagai argumentasi yang dimilikinya. Sementara nama Khawarij dikonotasikan terhadap mereka yang semula bergabung dengan pihak Ali bin Abi Thalib, namun karena beberapa alasan belakangan mereka membelot dan keluar. Oleh karena itulah maka kelompok ini dikenal dengan nama Khawarij, yang berasal dari kata Kharaja (keluar).
      Munculnya berbagai sudut pandang tersebut, secara otomatis telah  mampu membentuk opini publik. Apakah teori yang dikemukakan itu hanya demi kepentingan kelompok tertentu ataukah memang dengan alasan ilmiyah semata, bergantung kepada masing-masing individu yang mengungkapkannya. Oleh karenanya, maka penulis merasa perlu untuk mengangkat topik ini dengan harapan dapat memperoleh  informasi yang lebih transparan dan relatif obyektif.

B.     Sejarah Kemunculan Shi'ah dan Khawarij ala Watt
   Montgomery Watt, pada dasarnya berpendapat bahwa sekte Shi’ah dan Khawarij muncul lebih dikarenakan faktor sosiologis belaka, bukan karena faktor politik ataupun teologi.[3] Perbedaan penafsiran terhadap hadith Ghadir Khumm misalnya[4]. Bahkan kelompok Shi’ah menganggap hadith Ghadir Khumm ini merupakan legalitas formal bagi pengangkatan Ali bin Abi Thalib sebagai pengganti/penerus Nabi Muhammad.[5] 
     Tinjauan Montgomery Watt  dalam menganalisis perkembangan gerak sejarah Islam yang sangat berbeda itu, --selaku pengamat-- tampaknya masih memiliki catatan-catatan yang menarik untuk di kaji. Tulisan sederhana ini, diambil dari pandangan W. Montgomery Watt melalui karyanya yang berjudul Islamic Philosophy and Theology. 
     Sejarawan Inggris ini tampaknya memang sungguh-sungguh menafikan aspek-aspek teologi ataupun aspek politik. Menurut Watt, suku-suku Arab yang mayoritas nomaden telah beraliansi ke dalam kelompok Muhammad, kecuali mereka yang masih berada di bawah pengaruh Byzantium. Periode berikutnya, dari tahun 632-661 dikenal dengan the rightly guided caliphs.[6] Mulai masa Abu Bakar (632-634), Umar (634-644), Uthman (644-656) dan Ali bin Abi Thalib (656-661). Terhadap kepemimpinan Ali ini telah terjadi pro dan kontra. Gubernur Damaskus sendiri menolak untuk mengakui Ali. Dalam pertikaian antara Ali dan Mu’awiyah, akhirnya pada tahun 661 Ali terbunuh. Dengan demikian maka tampuk kekuasaan berada di bawah dinasti Mu’awiyah.[7] Pada periode Ali bin Abi Thalib inilah, sesungguhnya umat Islam betul-betul menjalani ujian yang cukup berat dan sulit. Karena sejak awal pemerintahan Ali senantiasa diwarnai dengan aksi protes, kekerasan maupun  pemberontak.
       Pemaparan peristiwa-peristiwa historis di atas, kata Watt, terdapat relevansinya dengan bahasan teologi. Menurutnya, para sosiolog berpendapat bahwa ide-ide teologi dan filsafat memiliki referensi politik dan sosial. Hubungan antara  teologi dan politik begitu dekat dan jelas di Timur Tengah. Di dalam Perjanjian lama (old Statement) pun penuh dengan hal-hal yang demikian itu. Pada awal abad ke 7 ketidakpuasan terjadi pada masyarakat Kristen pribumi Syiria dan Mesir terhadap Kerajaan Romawi terutama disebabkan pada persoalan klenik Monophysite dan Nestorian. Namun demikian, dalam menyikapi peristiwa perang yang dilakukan oleh Abu Bakar terhadap kaum murtad yakni sekitar tahun 632 sampai 634, Watt tidak melihatnya sebagai fenomena/element teologis dan bahkan peristiwa itu dipandangnya sebagai “murni” konflik politik yang terjadi dalam tubuh pemerintahan Islam (khususnya masa Abu Bakar). Hal-hal yang demikian itu, berlangsung sampai periode sebelum dimulainya masa Mu’awiyah.[8]
     Dalam hal ini, tampaknya Watt ingin menghilangkan korelasi peristiwa tersebut dengan kepentingan data-data teologis yang terkait dengan “penyelamatan akidah umat”. Untuk selanjutnya Watt ingin menciptakan kesan bahwa perilaku umat Islam yang dipresentasikan oleh seorang khalifah pertama, Abu Bakar, yang notabenenya sebagai pemimpin sekaligus figur umat Islam setelah Nabi Muhammad, masih dipengaruhi oleh prilaku-prilaku Arab-jahiliyah yang senang bertikai antar suku.
    Disamping itu paparan di atas juga menunjukkan, bahwa Montgomery Watt dalam memandang fenomena tersebut cenderung memisahkan aspek teologi dan politik. Padahal pada dasarnya aspek agama dan politik senantiasa bergandengan. Berbeda dengan Ignaz Golziher yang berdasarkan pada pemikiran bahwa masalah teologi, politik, hukum, bahkan etika, bermula dari masalah politik yang akhirnya berkembang ke dalam masalah-masalah politik.[9]
      Selanjutnya dikatakan bahwa sebenarnya persaingan antar dua suku besar di Madinah terus berlangsung sampai menjelang kematian Muhammad. Di dalam pemilihan pengganti, kecemburuan penduduk Madinah (kaum Anshar) terhadap penduduk Makkah (kaum Muhajirin) mulai terlihat.  Pada saat perang terhadap “kaum murtad”, suku-suku nomaden tertentu menentang penduduk Madinah, penduduk Makkah dan suku-suku nomaden yang lain. Dan kenaikan Ali bin Abi Thalib pada tampuk kekuasaan telah membuka benturan/pertikaian yang sedikitnya melibatkan tiga kelompok masyarakat Makkah.[10]                           
       Dalam konteks itu pula, maka Watt dalam memandang fenomena Khawarij, yang oleh sebagian besar sejarawan dianggap sebagai “rebel” (pemberontak), dalam suatu studi teologi tidak menunjukkan demikian. Menurutnya, kejadian-kejadian yang muncul pada masa Ali ataupun Mu’awiyah, bukanlah merupakan ketidaksukaan mereka terhadap pribadi kedua tokoh tersebut. Namun hal itu lebih disebabkan karena situasi dan kondisi saat itu.[11]
       Orang-orang yang terlibat dalam kelompok Khawarij tersebut bukan berasal dari Makkah atau Madinah, akan tetapi terdiri dari orang-orang yang berasal dari suku nomaden. Tiga puluh tahun sebelum itu, nenek moyang mereka telah mengalami kehidupan bebas di gurun. Namun kini mereka terperangkap di dalam organisasi yang besar tentara muslim. Ketika pertempuran selesai, mereka tidak kembali ke gurun pasir, tempat mereka semula, tetapi tinggal di barak-barak baik di Irak maupun Mesir. Pada masa itu orang Islam diwajibkan mengikuti dinas militer, dan sebagai kompensasinya memperoleh gaji tetap dari negara. Besarnya gaji berbeda-beda bergantung pada posisi prioritas keluarga masuk Islam. Meskipun di dalam banyak hal terdapat celah yang dapat menimbulkan berbagai ketidak puasan ekonomi, tetapi hal yang demikian tidak pernah terjadi.[12] Jadi, ekonomi oriented yang menjadi faktor pendorong utama kelompok ini memisahkan diri/keluar dan lebih memilih sebagai kelompok oposisi.
       Dalam hal ini tampaknya Watt memberikan penilaian yang cukup logis bahwa pembelotan kaum Khawarij karena kondisi dan situasi yang kurang bersahabat. Sehingga dapat mempengaruhi kondisi psikologis seseorang, yakni dengan mengedepankan emosional, atau dalam kondisi “memaksa” apapun dilakukan demi mencapai “sesuatu” yang dianggap jauh lebih baik.
       Perasaan tidak nyaman dan tidak aman adalah konsekuensi dari perubahan yang serba cepat dan mendadak. Hipotesa itu diajukan oleh Watt, dengan argumentasi kecemburuan pihak Khawarij terhadap pihak Shi’ah juga telah turut mendukung reaksi pembelotan itu. Suatu kondisi yang dianggapnya tidak ada kepastian dan krisis yang terus mendera, mendorong orang untuk mencari “keselamatan diri” dengan berpegang terhadap pengalaman masa lalu yang menurutnya terbukti sangat memuaskan. Lebih jauh lagi, timbulnya gerakan Shi’ah adalah berbeda dalam merespon kondisi yang sama (baca: perasaan tidak aman dan tidak nyaman).[13]
      Suatu kondisi yang tidak aman dan krisis, telah mendorong seseorang untuk mencari “perlindungan diri” terhadap sesuatu yang ada pada pengalaman masa lalunya, yang dianggap sangat memuaskan dan mendasar. Sebagian besar orang-orang percaya bahwa keselamatan (pencapaian tujuan akhir dalam kehidupan manusia) dapat dicapai dengan mengikuti seorang pemimpin yang diberkati dengan sifat-sifat istimewa yang tidak dimiliki oleh manusia pada umumnya. Sifat-sifat  demikian dipercaya merupakan karunia Tuhan, meskipun kadang-kadang lebih dipandang sebagai sifat alami, atau dalam sosiologi dikenal dengan term “kharismatik” atau disebut dengan “pemimpin kharismatik”.[14]
       Lebih jauh lagi Watt menjelaskan,[15] bahwa terdapat dua point penting yang dapat menjelaskan masing-masing kedua aliran tersebut. Pertama, terdapat kemiripan antara kelompok kecil pemberontak dari kalangan Khawarij dengan masyarakat nomaden yang efektif. Biasanya mereka ini muncul sejak pemerintahan Ali dan Umayyah. Mereka yang terlibat bervariasi jumlahnya, antara lima puluh sampai lima ratus dengan rata-rata sekitar dua ratus.Mereka tidak pulang kembali ke gurun, tetapi tinggal di pinaggiran kota Iraq. Mereka mendapatkan makanan dengan merampas dan merampok, oleh karenanya pemerintah menekannya.
        Point kedua yang perlu dicatat adalah jika orang bertanya Khawarij dan Shi’ah itu termasuk suku yang mana, perbedaan yang pasti tidak ditemukan. Perbedaan itu tidak absolut, terdapat banyak suku, namun dapat dikatakan:  (1) Sebagian besar Shi’ah berasal dari suku Selatan Arabia. (2) Tokoh-tokoh pemikir serta sekte-sekte kaum Khawarij (selama periode Umayyah, secara keseluruhan) berasal dari  tiga suku utara. Lebih dari tiu kelihatannya tidak ada sesuatu hal dalam sejarah antara tahun 622 sampai 656 yang dapat menjelaskan reaksi kedua kelompok itu. Suku-suku Selatan ini telah terlebih dahulu ikut peperangan ke Iraq, namun setidaknya satu suku terkemuka telah ikut pergi dalam penyerangan awal. Ali telah dikirim oleh Muhammad untuk melaksanakan tugas dakwa ke Arab selatan, tetapi tidak disebutkan mendapat sambutan/pengaruh dari masyarakat.
      Selanjutnya Watt, mengajukan hipotesanya bahwa perbedaaan reksi itu bersumber pada tradisi yang sudah berabad-abad . Bagaimanapun suku-suku Arabia Selatan mempunyai kaitan dengan peradaban kuno daerah itu yang berumur lebih tua seribu tahun. Dalam peradaban ini telah dikenal adanya raja yang dipandang sebagai  Tuhan atau setengah Tuhan. Dapat dipastikan kendatipun pada abad ke 7 suku-suku Arab belum diperintah oleh seorang raja, namun ketika mereka mengalami persoalan, mereka cenderung menggantungkan diri kepada kepemimpinan yang bersifat “super human”. Berdasarkan kepercayaan ini, masayarakatnya dalam kondisi krisis, mencari sejenis itu, dan mereka menemukannya  sosok “pribadi Ali”. Maka   hal yang wajar jika belakangan kelompok ini menganggap bahwa Ali merupakan orang yang maksum (bebas dari salah).
     Sementara suku-suku Arabia utara, tidak pernah berada dalam lingkungan yang raja-rajanya adalah titisan Tuhan. Sebaliknya, merupakan kebiasaan suku-suku nomaden untuk memandang bahwa semua laki-laki dewasa dalam hal-hal tertentu sederajat. Untuk itulah maka kelompok ini tidak mau mengakui Ali sebagai orang yang maksum. Kelompok Khawarij ini cenderung  berusaha untuk mendapatkan kepastian bahwa masyarakatnya adalah masyarakat kharisma, maka barang siapa yan berbuat dosa harus dikeluarkan dari kelompoknya.[16]
           
C.     KESIMPULAN
      Dari beberapa paparan di atas, penulis dapat menyimpulkan bahwa disamping faktor teologis dan politik, masih terdapat banyak faktor yang menyebabkan munculnya perpecahan di kalangan umat Islam, khususnya sesudah Nabi Muhammad SAW. meninggal dunia, antara lain sebagai berikut:
1. Fanatisme kearaban (Ashabiyah al-‘Arabiyah), sekalipun Islam sejak awal hadir untuk memerangi fanatisme, sebagaimana firman-Nya: “Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan perempuan dan menjadikan kakmu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal” (QS: 49:13). Dengan demikian maka munculnya fanatisme ini telah melahirkan dampak yang sangat luas, terutama bagi perkembangan pemikiran Islam berikutnya.
2. Kondisi internal bangsa Arab pada umumnya, dimana antar suku saling bersaing dan senantiasa membanggakan suku dan keturunannya. Dalam pengamatan Ibn Khaldun, bahwa salah satu sifat dan watak orang Arab adalah setiap orang ingin menjadi pemimpin. Dengan kata lain sifat kepala batu mereka merupakan penghalang utama bagi terciptanya persatuan dan kesatuan di kalangan mereka. Fenomena historis seperti itu, berlangsung sampai berabad-abad. Dalam hal ini seringkali kepentingan bersama terkalahkan oleh kepentingan-kepentingan kelompok.
3. Kontak yang dialami oleh umat Islam dengan penganut agama-agama lain, yang sebagian penganutnya akhirnya memeluk agama Islam. Sehingga seringkali domain pemikiran mereka terhadap kebenaran agama Islam masih diwarnai sorotan kepercayaan mereka yang lama.
    Selain yang tersebut di atas, sesungguhnya tesa-tesa yang diajukan oleh Watt tersebut masih membutuhkan penelitian lebih lanjut.  Terlepas dari kredibelitas Watt yang dikenal sebagai sosok yang lembut dan simpatik pada Islam serta dinilai banyak orang sebagai sangat teliti dan hati-hati dalam mempelajari sumber-sumber Islam, namun sesungguhnya ada bagian-bagian pemikirannya yang cenderung provokatif dan sedikit “tendensius”.   

DAFTAR PUSTAKA
Amin, Ahmad. Fajr al-Islam, Kairo: Maktab al-Nahdah al-Misriyyah, 1961.
Golziher,Ignaz. Introduction to Islamic Theologi and Law, Terj. Andras and Ruth Hamori, Princeton: University Press, 1981.
Halm, Heinz. Shiism, Edinburg:University Press, 1991.
Jafri, S.H.F. The Origins and Early Development of Shi’a Islam, Qum: The group of  Muslims, Safiyah Avenu, tt .
Lewis, B., ed. et.al. “Ghadir Khumm”, Encyclopaedia of Islam, Vol. 2, Leiden: E. J. Brill, 1991
Watt, W. Montgomery. Pemikiran Teologi dan Filsafat Islam, Terj. Masdar F. Mas’udi Jakarta: P3M, 1987.
Watt, W. Montgomery. Islamic Philoshopy And Theology, Edinburg: University    Press, 1987.






[1]Perbedaan pendapat dikalangan sejarawan sangat bervariatif, bahkan ada yang cenderung menekankan pada aspek-aspek non Islam, seperti agama Kristen dan Yahudi mempunyai peran yang sangat penting dalam membentuk ajaran Shi’ah. Sikap demikian itu, misalnya terlihat dalam Fajr al- Islam karya Ahmad Amin, dinyatakan bahwa Shi’isme menjadi tempat bagi setiap orang yang bermaksud hendak menghancurkan Islam. Agama Yahudi muncul dalam Shi’isme dengan konsep raj’ah (kembali) dan ajaran Kristen muncul dalam konsep tentang hubungan antara iman dan Tuhan sebagaimana hubungan antara Yesus dan Tuhan. Lihat Ahmad Amin, Fajr al-Islam, (Kairo: Maktab al-Nahdah al-Misriyyah, 1961), 276. Demikian pula al-Tabary menyebutkan, bahwa peran Abdullah bin Saba’ sangat besar dalam melahirkan Shi’ah, seorang Yahudi yang berhasil menyusup ke tengah-tengah masyarakat Muslim.  
[2] Nabi Muhammad meninggal pada 8 Juni 632. Lihat Heinz Halm, Shiism, (Edinburg: Edinburg University Press, 1991), 6.
[3] Dikalangan sejarawan, kedua faktor tersebut merupakan asumsi yang dominan sebagai sumber  pencetus munculnya sekte Shi’ah. 
[4] Pemahaman pada Ghadir Khumm telah memancing perdebatan yang cukup tajam bukan cuma antara  Syi’ah-Khawarij tapi juga muncul antara dua mazhab besar, Sunni-Shi’i. Oeh pihak Sunni peristiwa Ghadir Khumm ditafsirkannya sebagai pembelaan terhadap Ali, yang sama sekali tidak mengandung wasiat kepemimpinan. Ghadir Khumm merupakan nama telaga yang terletak di daerah yang bernama Khumm, antara Makkah dan Madinah, kurang lebih 3 mil dari Juhfah. Air yang mengisi telaga itu berasal dari mata air yang muncul dari sebuah oase, dan darinya air itu mengalir ke laut sejauh sekitar 6 mil, sepanjang lembah yang juga disebut Khumm. Nama itu tidak lagi digunakan. Karena tempat itu sering diairi oleh hujan, di sana ada tumbuh-tumbuhan yang menjadi pelindung matahari di sekitar danau itu dan disana juga dibangun masijid. Lihat B. Lewis, ed. et.al. “Ghadir Khumm”, Encyclopaedia of Islam, Vol. 2, (Leiden: E. J. Brill, 1991), 993.
[5] Peristiwa itu terjadi pada 18 Dhul-Hijjah/10 Maret 632, ketika Muhammad kembali dari haji wada’. Lihat S.H.F. Jafri, The Origins and Early Development of Shi’a Islam, (Qum: The group of Muslims, Safiyah Avenu, tt.), 19.
[6] Artinya Khulafa’ Al-Rasyidun. Lihat W. Montgomery Watt, Pemikiran Teologi dan Filsafat Islam, Terj. Masdar F. Mas’udi (Jakarta: P3M, 1987), 7.
[7] W. Montgomery Watt, Islamic Philoshopy And Theology, (Edinburg: University Press, 1987), 1.
[8] Ibid, 2.      .  
[9] Ignaz Golziher, Introduction to Islamic Theologi and Law, Terj. Andras and Ruth Hamori, (Princeton: University Press, 1981), 168.
[10]Watt, Islamic,2. Kelompok pertama yaitu mereka yang mendukung Ali sebagai khalifah dan mengingkari ketiga khalifah pertama atau yang dikenal dengan istilah Shi’ah. Kelompok kedua yaitu mereka yang mendukung Mu’awiyah sebagai khalifah serta mengakui keabsahan ketiga khalifah pertama. Sementara kelompok ketiga adalah mereka yang semula mendukung Ali bin Abi Thalib, namun pada akhirnya memisahkan diri dan menjadi oposisi baik terhadap Shi’ah maupun Mu’awiyah. Kelompok terakhir inilah yang belakangan dikenal dengan kelompok Khawarij. 
[11]Ibid, 3.
[12] Ibid.
[13] Ibid.
[14] Ibid, 3-4.
[15] Ibid 5-6.
[16] Ibid.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar