ABSTRAK
Dalam perjalanan sejarah al-Khulafa al-Rashidun, terdapat empat model mekanisme pemilihan khalifah. Pertama terpilihnya Abu Bakar menjadi khalifah pertama, melalui proses kompromi politik. Kedua terpilihnya Umar sebagai khalifah kedua, melalui reomendasi khalifah sebelumnya dan disetujui oleh segenap umat Islam. Ketiga naiknya Uthman ke kursi khalifah, melalui proses sidang terbatas (baca: badan formatur), yang anggotanya terdiri dari 7 orang sahabat terbaik sementara yang satu orang sahabat tanpa hak suara, dimana mereka dianggap memiliki track record dan kapabilitas untuk mengemban amanah umat. Keempat melalui bay’at langsung oleh umat, seperti terpilihnya Ali b. Abi Thalib kw.
Masa Abu Bakar ini adalah benar-benar merupakan masa ujian kelangsungan agama Islam. Seperti terjadinya pemberontakan oleh orang-orang Yamamah pimpinan Musailamah al-kadzdzab. Pemberontakan teratasi, dengan disertai banyak korban berguguran dari kalangan penghafal al-Qur’an. Umar ibn al-Khattab menyarankan Abu Bakar untuk segera membukukan al-Qur’an. Masa Umar ibn Khattab ra. adalah masa pembebasan dalam ekspansi politik dan militer ke daerah-daerah luar jazirah Arabia. Wilayah kekuasaan Islam mengalami kemajuan yang luar biasa pesatnya. Umar dianggap tokoh ideal pelaksanaan hukum Islam sesudah masa Nabi. Kelak menjadi bahan rujukan utama dalam pencarian preseden hukum Islam.
Setelah Umar wafat kursi kakhalifahan berpindah ke tangan Uthman. Ia sangat berjasa dalam merealisasikan penyatuan penulisan al-Qur’an. Pada paruh terakhir masa kepemimpinannya suhu politik di kalangan umat Islam mulai memanas. Khalifah Uthman syahid secara tragis di tangan pemberontak persia melalui budaknya, Abu Lu’lu’. Peristiwa itu dalam sejarah dikenal dengan fitnah al-kubra, yang sudah barang tentu berpengaruh pada tatanan sistem politik umat Islam. Selanjutnya Ali ibn.Abi Thalib naik sebagai khalifah dengan disupport dan dibay’at oleh sebagian besar umat Islam, namun kondisi politik tidak mereda bahkan justru semakin chaos. Kepemimpinan Ali juga diwarnai dengan hiruk-pikuk pemberontakan. Tetapi pemerintahan Ali merupakan contoh komitmen yang kuat terhadap keadilan sosial dan kerakyatan, di samping kesungguhan di bidang pengetahuan.
A. Prolog
Ketika Nabi Muhammad SAW. wafat, cukup menggemparkan segenap umat Islam dan sekaligus menandakan telah berakhirnya otoritas seorang pemimpin spiritual dan duniawi yang mendapatkan tuntunan langsung wahyu Ilahi, serta menunjukkan pula bahwa risalah kenabian telah sempurna.[1] Beliau pun tidak mewariskan siapa penggantinya yang akan meneruskan missi sucinya.
Pada saat itu untuk memutuskan mengenai siapa pengganti Nabi dalam memimpin umat Islam dalam rangka mengemban amanah-Nya tersebut telah menimbulkan interpretasi umat yang beraneka-ragam, yang pada gilirannya menjadi pemicu konflik tajam yang berkesudahan antar sesama muslim. Padahal beliau telah berusaha keras menanamkan persaudaraan sejati yang kokoh diantara pengikutnya, misalnya antara kaum Anshar dengan kaum Muhajirin. Terlambatnya pemakaman jenazah Nabi mengilustrasikan betapa gawatnya krisis suksesi saat itu. Sejarah mencatat terdapat tiga golongan yang terlibat konflik dalam persaingan perebutan kekuasaan itu, yaitu kaum Anshar, kaum Muhajirin, dan kaum Bani Hashim.[2]
Kondisi tersebut, kelak berkembang menjadi sebuah wacana baru dalam menginterpretasikan pesan moral Nabi Muhammad SAW. tentang suksesi. Dimana selanjutnya umat Islam banyak tenggelam dalam peperangan yang mau tidak mau berakibatkan pada perpecahan antar sesamanya.
B. Peta Politik masa al-Khulafa’ al-Rasyidun
1. Mekanisme Pengangkatan Khalifah dan Tipologi Kepemimpinannya
Peristiwa Saqifah Bani Sa’idah,[3] merupakan embrio pertama terpenting dalam wacana politik umat Islam periode awal pasca Rasulullah wafat, khususnya yang berkaitan dengan suksesi kepemimpinan. Peristiwa itu memberikan implikasi yang sangat besar bagi percaturan politik umat Islam pada masa-masa selanjutnya. Dari tempat itulah, untuk pertama kalinya umat Islam berperan menghadapi dan memutuskan realita sosial politik yang cukup kompleks secara mandiri tanpa kehadiran Nabi Muhammad SAW.
Abu Bakar al-Shiddiq berhasil menduduki kursi khalifah pertama, sebagai pengganti Nabi dalam meneruskan perjuangan dakwah Islam di Jazirah Arab khususnya, dan di seantero belahan dunia pada umumnya. Kendatipun tidak ditemukan data konkrit, bahwa sebelumnya dia memiliki ambisi pribadi untuk menduduki jabatan khalifah. Namun demikian, naiknya Abu Bakar ke kursi khalifah telah melalui polemik panjang diantara para sahabat, dengan terjadinya perbedaan pendpt yang cukup tajam antara kaum Anshar dan kaum Muhajirin dalam menentukan siapa yang berhak memegang kendali khalifah.
Kultur Ashabiyah yang telah lama dihapus oleh Rasulullah, kembali muncul ke permukaan. Masing-masing suku memiliki calon untuk dipromosikan sebagai kandidat khalifah. Kelompok Anshar menghendaki Saad bin Ubadah, dengan argumentasi bahwa mereka yang menolong Nabi Muhammad SAW ketika mengalami kesulitan. Namun kelompok Muhajirin tidak setuju, menurutnya pihak Muhajirin lebih berhak memegang jabatan itu kerena termasuk kaum yang terlebih dahulu beriman kepada Allah dan rasul-Nya.
Untuk menghindari perpecahan, akhirnya Umar tampil mem-bay’at Abu Bakar ra. sebagai khalifah dan berkata: “Berikan tanganmu, hai Abu Bakar”. Lalu kaum Muhajirin dan kaum Anshar turut memberikan bay’at kepada Abu Bakar. Peristiwa itu dikenal dengan sebutan Saqifah Bani Sa’idah. Kendatipun dalam riwayat lain diberitakan keengganan Abu Bakar dalam menerima bay’at-nya. Hal itu tercermin dri dialog keduanya yaitu, Abu Bakar berkata kepada Umar: ”Berikan tanganmu, hai Umar, kami akan mem-bay’at-mu,” tapi Umar menjawab: “Engkau lebih mulia daripada aku”, dan Abu Bakar berkata lagi: “Tetapi engkau lebih kuat daripada aku”, Umar menjawab lagi: “Sesungguhnya kekuatanku bersama kemuliaanmu”.[4]
Kepribadian dan totalitas komitmen Abu Bakar terhadap nilai-nilai Islam sangat mengagumkan. Hal itu tercermin dalam pidato pelantikannya sebagaimana yang dicatat oleh Ibn Hisyam dalam sirahnya:
“Wahai saudara-saudaraku sekalian, saya telah dipilih untuk memimpin kalian, walaupun saya bukanlah orang yang terbaik diantara kalian. Jika saya berada di jalan yang benar bantulah saya, tetapi jika saya salah maka luruskanlah. Orang yang lemah diantara kalian adalah kuat di mata saya setelah saya memberikan haknya. Orang yang kuat adalah lemah di mata saya setelah saya menjalankan keadilan baginya. Patuhilah saya selama saya mematuhi perintah Allah dan rasul-Nya. Tetapi jika saya melanggar perintah Allah dan rasul-Nya, maka kalian tidak usah mematuhi saya.”[5]
Proses pembay’atan yang dilakukan oleh Umar atas Abu Bakar untuk naik menjadi khalifah, merupakan pengalaman politik awal dalam suksesi kepemimpinan pasca Rasulullah wafat. Oleh karena itu timbul berbagai interpretasi, diantaranya, apakah model yang demikian yang dikehendaki oleh pesan moral al-Qur’an dalam menentukan kepemimpinan ataukah ada model lain. Kesuksesan Umar dalam meberikan dukungan sehingga Abu Bakar menjadi khalifah pertama dan kemudian didukung oleh seluruh umat Islam, kecuali Ali,[6] merupakan realitas sosio-politik tentang kecerdikan yang diperankan oleh Umar dalam menginterpretasikan makna teks suci dalam tataran operasional. Namun sebagian kalangan berpendapat bahwa hal itu tidak terlepas dari bagian kharisma dan kewibawaan Umar di mata sahabat yang lain.
Berbeda dengan peristiwa di atas, pengangkatan Umar bin Khattab ra. menjadi khalifah kedua atas rekomendasi dari Abu Bakar ra. Karena Abu Bakar mengkhawatirkan terulanganya kejadian yang lalu ketika tidak diberi petunjuk siapa pengganti khalifah sesudahnya. Disamping itu situasi politik dalam negeri –saat itu- belum kondusif untuk menyerahkan penggantinya kepada umat Islam. Namun demikian, hemat penulis, prosesi naiknya Umar menjadi khalifah yang kedua merupakan bagian dari tipologi kepemimpinan Abu Bakar yang menjalankan roda pemerintahannya terpusat pada dirinya (sentralisasi). Namun demikian, Abu Bakar bukan merupakan tipe pemimpin yang otoriter, mengingat setiap permasalahan umat selalu dipecahkan bersama para sahabat yang lain, sebagaimana pola kepemimpinan Rasulullah SAW.
Hal itu terbukti ketika Abu Bakar akan memutuskan suatu permasalahan, beliau selalu mengundang para sahabat yang terbaik untuk diajak musyawarah, terutama mengenai hal-hal yang berkaitan dengan persoalan yang dasar hukumnya tidak ditemukan baik di dalam al-Qur’an maupun dari pengalaman bersama Nabi.[7] Seperti persoalan menghadapi kaum Riddah, sebelum melancarkan serangan Abu Bakar membawa persoalan ke sidang musyawarah terlebih dahulu, namun para sahabat mengusulkan agar cukup dihadapi dengan cara lunak sebagaimana yang disepakati oleh Umar, sehingga terjadi perdebatan.[8] Persoalan pengkodifikasian al-Qur’an, Abu Bakar juga tidak lupa bermusyawarah dengan para sahabat, karena dianggap sangat penting bagi generasi berikutnya.[9]
Uthman bin Affan ra. menggantikan Umar bin Khattab ra. sebagai khalifah ketiga dengan melalui sistem dewan musyawarah sahabat pilihan (dewan formatur), yang ditunjuk oleh Umar. Para sahabat tersebut antara lain: Ali bin Abi Thalib, Uthman bin Affan, Zubair bin Awwam, Sa’ad bin Abi Waqas, Thalhah bin Ubaidillah, Abdurrahman bin Auf,[10] dan ditambah Abdullah bin Umar, putranya, tetapi tanpa hak suara. Menurut Umar, dasar pertimbangan mengapa memilih enam orang tersebut, yang kesemuanya dari kelompok Muhajirin atau Quraisy, semata-mata karena mereka berenam pernah dinyatakan oleh Nabi sebagai calon-calon penghuni surga, dan bukan karena mereka masing-masing mewakili kelompok atau suku tertentu.[11]
Menurut beberapa riwayat, Abdurrahman berkeliling kota Madinah untuk mengetahui aspirasi rakyat, mengadakan referandum dan ternyata mereka banyak mendukung Uthman bin Affan, maka ia naik menjadi khalifah ketiga. Mekanisme suksesi yang dijalankan Umar dengan membentuk tim / badan formatur tersebut merupakan ekspresi perkembangan sistem kenegaraan yang dipimpinnya. Tampaknya hal itu ditempuh –terlepas dari pertimbangan normatif, sebagaimana yang diuraikan di atas, karena wilayah kekuasaan Islam semakin luas, sehingga diperlukan sistem ketatanegaraan yang lebih maju, dengan harapan mampu mengakomodasi seluruh kepentingan umat. Pada masa Umar inilah, sistem lembaga pemerintahan mulai dipisah antara lembaga yudikatif dan eksekutif, serta mulai berdiri lembaga-lembaga pemerintahan lainnya.
Pada masa pemerintahan Uthman, pola kepemimpinan yang dikembangkan terkesan lebih mementingkan keluarga dan orang-orang yang dekat dengannya. Hemat penulis, itu semua terjadi mengingat usia Uthman yang sudah tua, sehingga menjadi tidak berdaya menghadapi klannya sendiri, dan ia pun dengan mudahnya dimanfaatkan oleh orang-orang di sekitarnya, yang kurang mempunyai komitmen untuk menegakkan nilai-nilai moralitas Islam. Sampai akhirnya roda pemerintahan seolah-olah tidak lagi dikendalikan oleh Uthman, sehingga banyak mengundang protes dari berbagai kalangan. Sebagai akibatnya simpatisan dan dukungan ummat semakin merosot. Khalifah Uthman mengemban jabatannya selama dua belas tahun dan berakhir akibat dibunuh oleh Abu lu’lu’, budak dari Mughirah bin Shu’bah.[12] Peristiwa yang cukup tragis itu akhirnya menyulut persoalan-persoalan baru dalam tubuh umat Islam, terutama yang terkait dengan mekanisme pemilihan khalifah selanjutnya, dimana tidak ada juklak yang jelas dari khalifah Uthman.
Ali bin Abi Thalib kw. menggantikan Uthman sebagai khalifah yang keempat dengan dibay’at langsung oleh kaum muslimin secara terbuka di Masjid secara terbuka.[13] Tetapi Gubernur Syiria, Mua’wiyah bin Abi Sufyan menolak Ali. Muawiyah menuntut agar pembunuh Uthman ditangkap, sehingga muncul berbagai gejolak, bahkan perang saudarapun tak dapat dihindarinya.[14] Perang Jamal, perang Shiffin, disertai dengan tewasnya sejumlah sahabat Nabi, menggambarkan mengenai fenomena disintegrasi ummat tengah terjadi pada masa pemerintahan Ali.
Pada gilirannya Ali turun dari tampuk kekhalifahan melalui proses arbitrase, kiranya dapat dijadikan pisau analisis untuk menyingkap situasi kepemimpinannya. Arbitrase terjadi sebagai upaya mencari jalan keluar untuk menyelesaikan perebutan kekuasaan yang dilakukan oleh Mu’awiyah dengan berkedok tidak terima atas kematian Uthman bin Affan, sehingga timbullah peperangan di daerah shiffin dan berakhir dengan membentuk lembaga musyawarah (baca: arbitrase).
Dengan melihat penyelesaian konflik di atas, dapat dinuat semacam kesimpulan awal bahwa pola kepemimpinan yang dilakukan oleh Ali lebih bernuansa demokratis, dimana ia menerapkan ajaran-ajaran agama melalui bermusyawarah dalam menyelesaikan setiap permasalahan umat. Ali lebih menawarkan jalan damai dengan bermusyawarah terlebih dahulu, saat mendengar keinginan Thalhah, Zubair, dan Aisyah hendak menuntut balas atas kematian Uthman, sebelum pecahnya perang Jamal.
Dalam tataran teori dan praktek poitik dewasa ini, maka hampir semua landasan politik yang diperan khalifah diadopsi oleh beberapa negara dalam menjalankan suksesi kepemimpinan. Konsensus politik, sebagaimana yang tejadi pada saat Abu Bakar terpilih merupakan mekanisme yang diperbolehkan dalam teori politik. Al-Ghazali dalam teori politiknya menyebutkan bahwa, manakah yang lebih baik, anarki dan kebekuan kehidupan sosial karena tidak adanya seorang penguasa yang tepat untuk diberi kekuasaan, atau mengakui kekuasaan yang ada apapun kekuasaan itu?[15] Dalam konteks ini, al-Ghazali membenarkan sekaligus mengharuskan adanya seorang pimpinan dalam sebuah komonitas negara apapun bentuknya tinimbang negara tersebut kosong tidak ada yang memimpin. Maka langkah Umar yang membay’at Abu Bakar untuk menjadi pemimpin umat, kiranya dapat dikategorikan dalam klasifikasi teori al-Ghazali tersebut.
Terhadap penunjukan yang dilakukan oleh Abu Bakar pada Umar, untuk menggantikan kursi kekhalifahan, merupakan pola mekanisme pengangkatan khalifah kedua yang kemudian diadopsi oleh beberapa pemikir muslim. Salah satunya al-Mawardi, pemikir muslim yang melegalkan sistem penunjukan atau pemberian wasiat kepada seseorang yang mempunyai kelayakan untuk menerima jabatan itu. Namun ia mensyaratkan bahwa sebelum menunjuk calon penggantinya, seorang imam/khalifah harus mengetahui agar yang ditunjuk itu betul-betul berhak untuk mendapatkan kepercayaan dan kehormatan yang tinggi dari yang paling memenuhi syarat.
Mekanisme pengangkatan khalifah ketiga dengan pembentukan tim formatur, juga mendapatkan legalitas teoritis dan menjadi acuan bgi pemikir muslim berikutnya yang kemudian muncul istilah ahl al- hall wa al-aqd dalam teori politik Islam, yaitu sebuah lembaga yang mempunyai otoritas untuk memilih seorang calon pemimpin. Sementara pada mekanisme pengangkatan khalifah keempat, merupakan praktik politik yang kemudian banyak diadopsi dalam wacana politik kaum shi’ah.
2. Ekspansi Wilayah Masa al-Khulafa al-Rashidun
Khalifah Abu Bakar ra. memerintah selama dua tahun, pada tahun 632-634 M.[16] Dalam masa yang cukup singkat itu, Abu Bakar lebih banyak mencurahkan perhatiannya untuk membangun stabilitas dalam negeri, karena sepeninggal Rasulullah saw. masyarakat muslim mengalami dekadensi akidah. Mereka banyak yang murtad dan enggan untuk membayar zakat.[17] Mereka berpandangan dengan meninggalnya Nabi Muhammad saw., maka perjanjian setia pada Islam menjadi batal, sehingga bebas melanggar dan bahkan cenderung untuk kembali menjalankan prilaku hidup dan tindakan-tindakan sebagaimana layaknya di zaman pra Islam. Untuk itulah, maka Abu Bakar bertindak tegas kepada mereka yang murtad karena dianggap melanggar esensi syari’at Islam dan Abu Bakar menyatakan perang. Tetapi menurut Lewis, gerakan mereka yang melepas kesetiaan itu secara politis merupakan pembangkangan terhadap lembaga khalifah.[18] Sehingga dapat pula dikatakan bahwa peperangan yang dikobarkan itu selain bermotivasikan dakwah juga demi tegaknya persatuan dan kesatuan di bawah wilayah kekuasaannya.
Selain itu, Abu Bakar juga memberantas dan memerangi orang-orang yang mengaku menjadi nabi. Nabi-nabi palsu tersebut, antara lain: Aswad al-‘Ansa,[19] Tulaihah al-Kadhdhab,[20] Musailamah al-Khadhdhab.[21] Perang melawan nabi-nabi palsu tersebut bagi khalifah bukan hanya sekedar ancaman terhadap eksistensi kekuasaan tetapi lebih bernuansa dakwah demi menyelamatkan akidah umat Islam.
Setelah Abu Bakar mampu menangani maslah-masalah internal, ia mulai mengirimkan kekuatannya melawan Persia dan Romawi, dua kubu kekuatan yang jika tidak dilumpuhkan akan mengancam integritas kehidupan berbangsa dan bernegara, karena kedua kerajaan itu mem-back up kaum pemberontak di dalam negeri. Beberapa pasukan perang lainnya dikirim ke Syria, karena umat Islam memandang Syria merupakan integral dari wilayah Arab. Negeri itu dihuni oleh bangsa Arab dan penduduknya berbicara dalam bahasa Arab. Dengan demikian baik untuk keamanan Arabia maupun untuk pertalian rasial dengan orang-orang Syria, penggabungan Syria sangat penting bagi banga Arab.
Pada masa kekhalifahan Umar tahun 634-644 M,[22] gelombang ekspansi sudah merambah ke Irak, Iran, Syria, Mesir, Palestina, dan sebagian besar wilayah Persia dalam waktu yang cukup singkat, sehingga berubah menjadi suatu kekaisaran yang memiliki kekuatan sangat besar pada waktu itu. Seiring dengan wilayah umat Islam yang mulai meluas maka masalah yang muncul pun semakin kompleks pula. Untuk memudahkan koordinasi pemerintah pusat, khalifah Umar mendirikan beberapa kantor, meletakkan dasar-dasar peradilan dan administrasi, membentuk baytul mal, membentuk lembaga musyawarah, mengatur jaringan pos, dan menempatkan pasukan-pasukan di wilayah perbatasan.[23] Terkait dengan meluasnya ekspedisi, peranan tata usaha dan adminitrasi sangat urgent dan ini tercatat merupakan yang pertama kali dalam lembaran sejarah Islam.
Pada musim haji dijadikan momentum pertemuan antar kepala-kepala daerah di bawah naungan khalifah Umar. Dia menerima dan mendengarkan pengaduan maupun saran dari mereka, dan tidak jarang terjadi dialog untuk mencari solusi atas masalah-masalah yang dihadapi bersama.[24] Lisan merupakan satu-satunya sarana komonikasi yang digunakan saat itu, mengingat masih terbatsnya alat tulis, bahkan al-Qur’an pun masih tertulis di pelepah kurma dn tulang-belulang binatang. Tetapi situasi tersebut tidak menjadi halangan bagi para pemimpin umat untuk berkomonikasi.
Pada masa khalifah Uthman, wilayah Arab meluas ke Asia, Afrika Armenia, Tunisia, Cyprus, bagian yang tersisa dari Persia, Transaxonia dan Tabaristan. Beberapa sumber menyatakan, pada paruh pertama Uthman sukses memerintah sebagaimana kedua pendahulunya. Untuk selanjutnya ia lebih banyak menghadapi berbagai pemberontangan dalam negeri yang dilakukan oleh orang-orang yang kecewa pada kebijakan-kebijakan pemerintahannya. Pada enam tahun pertama pemerintahannya masih berjalan dengan baik, Uthman telah meneruskan Kebijaksanaan-kebijaksanaan Umar tetapi dengan kemampuan yang kurang. Di bawah kekuasaannya telah muncul apa yang disebut kekhalifahan “Umayyah” (karena semua wakil-wakilnya yang efektif, mulai dari Uthman, adalah keluarga Umayyah).[25]
Beberapa tahun kemudian negara mulai mengalami keguncangan, keluhan-keluhan mulai memuncak. Khalifah Uthman mulai menghadapi berbagai kecaman yang dipicu oleh orang-orang yang tidak puas dan merasa dirugikan. Berbagai tuduhan pun mulai dilimpahkan kepadanya, nepotisme dan lain sebagainya. Akhirnya Uthman mulai mempunyai banyak musuh dari kalangan sahabat Nabi di Madinah, yang tidak banyak berkutik untuk mengendalikannya.[26]
Sementara pada masa Khalifah Ali bin Abi Thalib, situasi pemerintahannya semakin tidak menguntungkan, bahkan boleh dikatakan tidak ada masa sedikitpun di dalam pemerintahannya yang dapat dikatakan stabil. Oleh karenanya, perhatian Ali lebih tercurahkan untuk memulihkan keadaan di dalam negeri, sehingga ekspansi dan perluasan wilayah luput dari perhatiannya.
3. Situasi Sosio-Ekonomi Masa al-Khulafa al-Rashidun
Pasca Rasulullah umat Islam mulai mengenal piranti institusi kenegaraan, sebagaimana yang terjadi pada masa pemerintahan Umar bin Khattab, seperti administrasi, tata usaha, lembaga musyawarah, lembaga keuangan, jawatan pekerjaan umum, dan lembaga-lembaga pemerintahan lainnya telah terealisasi dengan baik.
Secara makro situasi sosial umat Islam saat itu masih berada di bawah pranata sosial yang berlandaskan pada ajaran normatif al-Qur’an. Prilaku saling membantu terhadap sesamanya, semangat berkorban demi agama, dan hal-hal lain yang bernilai amr ma’ruf wa nahi munkar telah meberikan implikasi positif dalam memperkuat tatanan sosial umat yang bernuansa islami. Namun goncangan terhadap tatanan sosial itu pernah terjadi ketika munculnya sekelompok pembangkang terhadap pemerintahan yang baru dikelola Abu Bakar, sehingga ia pun mengharuskan merekonstruksi tatanan sosial itu dengan menyatakan perang terhadap mereka.
Goncangan hebat lainnya -yang oleh sebagian cendekiawan dikenal dengan istilah fitnah kubra- juga terjadi di akhir masa pemerintahan Uthman, dan mencapai puncaknya dengan terbunuhnya Uthman di tangan lawan politiknya. Masih juga belum reda, kembali pertikaian sesamanya terulang ketika umat Islam terpecah belah menjadi tiga golongan, yaitu kelompok Ali. Muawiyah, dan khawarij sebagai akibat dari proses arbitrase. Situasi sosial umat semakin mengalami degradasi menakala ketiga kelompok tersebut lebih mengedapankan ashabiyah sampai mencapai puncaknya dengan terbentuknya dinasti Amawiyah.
Ditinjau dari segi ekonomi, pada masa pemerintahan al-khulafa al-rashidun berjalan sesuai dengan konsep-konsep agama. Kesejahteraan rakyat menjadi perhatian utama para khalifah. Misalnya berkenaan dengan pengaturan harta rampasan perang, setelah dibagi-bagikan kepada yang berhak (tentara) lalu diserahkan untuk kepentingan umat.
Ekspansi wilayah yang dilakukan di era pemerintahan khalifah, secara tidak langsung juga telah memberikan kontribusi positif terhadap kondisi ekonomi umat, karena dengan adanya perluasan wilayah di beberapa negara telah membuka jalur perdagangan baru bagi umat sehingga dengan mudah mengembangkan usahanya ke wilayah-wilayah tersebut. Implikasi lainnya dari ekspansi wilayah adalah perbaikan kesejahteraan umat terlaksana melalui tersedianya lapangan pekerjaan baru bagi rakyat, yakni dengan menjadi tentara yang mendapatkan imbalan harta dari hasil rampasan perang. Dimana hasil rampasan perang itu sebagian disimpan dalam baytul mal oleh khalifah, dan digunakan untuk proyek peningkatan kesejahteraan umat.[27]
Dengan demikian dapat dinyatakan dari segi ekonomi, umat Islam pada masa al-khulafa’ al-rashidun mempunyai kekuatan ekonomi yang mantap dalam skala nasional, hal itu tidak lepas karena kekuasaan khilafah meliputi semenanjung Arabia, bahkan telah melampauinya, sehingga menjadi super power wilayahnya.
C. Epilog
Untuk mengakhiri tulisan ini, terdapat beberapa catatan penting yang perlu penulis paparkan yaitu:
Pertama, mekanisme pengangkatan seorang pemimpin di era khulafa al-rashidun belum baku, terbukti dari perbedaan dalam proses pengangkatan keempat khalifah tersebut. Sehingga tidak dapat dijadikan sebagai acuan yang bersifat formal normatif, baik dalam menentukan kriteria figur pemimpin, mekanisme pemilihannya, maupun mengenai jangka waktu seorang pemimpin.
Kedua, diakui atau tidak fakta menunjukkan bahwa masa khulafa al-rashidun telah meletakkan dasar-dasar ketatanegaraan yang patut menjadi uswah bagi kehidupan berbangsa dan bernegara, terutama tatanan yang berlandaskan pada nilai-nilai normatif sebagaimana yang ditanamkan oleh Nabi Muhammad saw. Salah satu buktinya adalah komitmen para khalifah dalam menciptakan tatanan sosial ekonomi yang selalu berpihak pada terwujudnya komunitas yang adil dan makmur.
Terakhir atau yang ketiga, adalah terdapat sebuah “mutiara hikmah” yang dapat diambil dari sejarah khulafa’ al-Rashidun dalam konteks kehidupan bernegara yaitu, untuk mengantisapasi terjadinya chaos dan terciptanya good governance dalam sebuah negara, maka pemimpin haruslah merupakan seorang individu yang terbaik (qualified) dalam arti luas serta mendapatkan legitimasi dari rakyat secara umum.
Daftar Pustaka
Arnold , Sir Thomas W. dan A. Guillaume (ed.), The Legacy of Islam, Oxford: Oxford University, 1931.
[1] Lihat QS. 6: 3
[2] Ibn Athir, al Kamil fi al-Tarikh, Jil. II (Beirut: Dar al-Sadr, 1965), 319.
[3] Bani Sa’idah adalah nama suatu balai pertemuan yang berada di Saqifah, Madinah.
[4] Muhammad bin Ahmad bin Uthman al-Dhahabi, al-Khulafa’ al-Rashidun Min Tarikh al-Islam, (Beirut: Dar al-Kutub al-ilmiyah, 1988), 5.
[5] Ibn Hisyam, Syirah ibn Hisyam IV, (Mesir: Mathba’ah Mustofa al-Bab al-Halabi, 1937), 340-341.
[6] Menurut banyak ahli sejarah, Ali baru berbay’at kepada Abu Bakar setelah Fatimah, istri Ali, dan putri tunggal Nabi, wafat 6 bulan kemudian. Lihat Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara: Ajaran Sejarah dan Pemikiran, (Jakarta: UI-Press, 1993), 23.
[7] Abu a’la al-Maududi, al-Khilafah wa al-Mulk, Terj. Muhammad al-Baqir, (Bandung: Mizan, 1984), 115.
[8] Keputuan Abu Bakar memerangi kaum murtad adalah dengan argumentasi sabda Nabi yang artinya:”Barangsiapa yang mengganti agamanya, hendaklah diperangi”. Lihat Mahmud Muhammad Baballi, al-Shura Suluk wa al-Iltizam, (Makkah: Maktabah al-Thaqafah, 1986), 148.
[9] Ibid., 184-185.
[10] Philip K. Hitti, History of the Arabs, (Britan: Mcmillan,tt), 178.
[11]Sjadzali, Islam, 25.
[12] Sheikh Muhammad al-Khudri al-Bek, Muhadarat Tarikh al-Umam al-Islamiyah (al-Dawlah al-Amawiyah),Juz I, (Mesir: al-Maktabah al-Tijariyah al-Kubra, 1979), 21.
[13] Abu Jakfar Muhammad bin Jarir al-Tabari, Tarikh al-Umam wa al-Muluk, (Tt.; Dar al-Fikr, tt), 448.
[14] Marshall G.S Hodgson, The Venture of Islam: Iman dan Sejarah dalam Peradaban Dunia, Terj. Mulyadhi Kartanegara, (Jakarta: Paramadina, 1999), 310.
[15] Sir Thomas W. Arnold dan A. Guillaume (ed.), The Legacy of Islam, (Oxford: Oxford University, 1931), 302.
[16] Hodgson, The Venture, 286.
[17] Jalal al-din al-Suyuti, Tarikh al-Khulafa’, (Beirut: Dar al-Fikr, tt), 60.
[18] Bernard Lewis, Bangsa Arab dalam Lintasan Sejarah, (tt: Pedoman Ilmu, 1988), 39.
[19] Al-Dhahabi, al-Khulafa’, 8.
[20] Lihat Ibid., 16-17.
[21] Ibid., 20-22
[22] Hodgon., the Venture, 286.
[23] Abbas Mahmud al-Aqqad, Islamiyyah ‘Abqariyyat ‘Umar, (Kairo: Dar al-Sya’ab,1969), 110.
[24] Ibid., 111.
[25] Hodgon., the Venture, 306.
[26] Ibid., 306-308. Juga lihat Ali Mufrodi, Islam di Kawasan Kebudayaan Arab, (Jakarta: Logos, 1997), 58-63.
[27] Al-Aqqad, Islamiyyat, 169.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar