A. PENDAHULUAN
Pelacakan terhadap akar historis munculnya Shi’ah – Khawarij menjadi
sangat signifikan, untuk menghindari bias dalam memahami sejarah perkembangan
aliran pemikiran dalam Islam. Namun demikian, telah terjadi keragaman pendapat
yang diutarakan para sejarawan dalam menjelaskan awal mula lahirnya
aliran-aliran tersebut, misalnya terdapat berbagai versi tentang lahirnya sekte
Shi’ah.[1]
Terlepas dari adanya keragaman pendapat tersebut, tampaknya para sejarawan
sepakat bahwa istilah Shi’ah diberikan terhadap mereka yang bergabung dengan
kelompok Ali bin Abi Thalib sekaligus pengikut setianya. Kelompok ini meyakini
bahwa Ali bin Abi Thalib inilah yang sangat berhak untuk menjadi pengganti Nabi
Muhammad sepeninggalnya,[2]
dengan berbagai argumentasi yang dimilikinya. Sementara nama Khawarij
dikonotasikan terhadap mereka yang semula bergabung dengan pihak Ali bin Abi
Thalib, namun karena beberapa alasan belakangan mereka membelot dan keluar.
Oleh karena itulah maka kelompok ini dikenal dengan nama Khawarij, yang berasal
dari kata Kharaja (keluar).
Munculnya
berbagai sudut pandang tersebut, secara otomatis telah mampu membentuk opini publik. Apakah teori
yang dikemukakan itu hanya demi kepentingan kelompok tertentu ataukah memang
dengan alasan ilmiyah semata, bergantung kepada masing-masing individu yang
mengungkapkannya. Oleh karenanya, maka penulis merasa perlu untuk mengangkat
topik ini dengan harapan dapat memperoleh
informasi yang lebih transparan dan relatif obyektif.
B. Sejarah Kemunculan Shi'ah dan Khawarij ala Watt
Montgomery Watt, pada dasarnya
berpendapat bahwa sekte Shi’ah dan Khawarij muncul lebih dikarenakan faktor
sosiologis belaka, bukan karena faktor politik ataupun teologi.[3] Perbedaan penafsiran terhadap hadith Ghadir
Khumm misalnya[4]. Bahkan kelompok Shi’ah
menganggap hadith Ghadir Khumm ini merupakan legalitas formal bagi
pengangkatan Ali bin Abi Thalib sebagai pengganti/penerus Nabi Muhammad.[5]
Tinjauan Montgomery Watt dalam menganalisis perkembangan gerak sejarah Islam yang sangat berbeda itu, --selaku pengamat-- tampaknya masih memiliki catatan-catatan yang menarik untuk di kaji. Tulisan sederhana ini, diambil dari pandangan W. Montgomery Watt melalui karyanya yang berjudul Islamic Philosophy and Theology.
Tinjauan Montgomery Watt dalam menganalisis perkembangan gerak sejarah Islam yang sangat berbeda itu, --selaku pengamat-- tampaknya masih memiliki catatan-catatan yang menarik untuk di kaji. Tulisan sederhana ini, diambil dari pandangan W. Montgomery Watt melalui karyanya yang berjudul Islamic Philosophy and Theology.
Sejarawan Inggris ini tampaknya memang sungguh-sungguh
menafikan aspek-aspek teologi ataupun aspek politik. Menurut Watt, suku-suku
Arab yang mayoritas nomaden telah beraliansi ke dalam kelompok Muhammad,
kecuali mereka yang masih berada di bawah pengaruh Byzantium. Periode
berikutnya, dari tahun 632-661 dikenal dengan the rightly guided caliphs.[6] Mulai masa Abu Bakar (632-634), Umar (634-644), Uthman (644-656) dan Ali
bin Abi Thalib (656-661). Terhadap kepemimpinan Ali ini telah terjadi pro dan
kontra. Gubernur Damaskus sendiri menolak untuk mengakui Ali. Dalam pertikaian
antara Ali dan Mu’awiyah, akhirnya pada tahun 661 Ali terbunuh. Dengan demikian
maka tampuk kekuasaan berada di bawah dinasti Mu’awiyah.[7] Pada
periode Ali bin Abi Thalib inilah, sesungguhnya umat Islam betul-betul
menjalani ujian yang cukup berat dan sulit. Karena sejak awal pemerintahan Ali
senantiasa diwarnai dengan aksi protes, kekerasan maupun pemberontak.
Pemaparan peristiwa-peristiwa historis di atas, kata
Watt, terdapat relevansinya dengan bahasan teologi. Menurutnya, para sosiolog
berpendapat bahwa ide-ide teologi dan filsafat memiliki referensi politik dan
sosial. Hubungan antara teologi dan
politik begitu dekat dan jelas di Timur Tengah. Di dalam Perjanjian lama (old Statement) pun penuh dengan hal-hal
yang demikian itu. Pada awal abad ke 7 ketidakpuasan terjadi pada masyarakat
Kristen pribumi Syiria dan Mesir terhadap Kerajaan Romawi terutama disebabkan
pada persoalan klenik Monophysite dan
Nestorian. Namun demikian, dalam menyikapi peristiwa perang yang dilakukan oleh
Abu Bakar terhadap kaum murtad yakni sekitar tahun 632 sampai 634, Watt tidak
melihatnya sebagai fenomena/element teologis dan bahkan peristiwa itu
dipandangnya sebagai “murni” konflik politik yang terjadi dalam tubuh
pemerintahan Islam (khususnya masa Abu Bakar). Hal-hal yang demikian itu,
berlangsung sampai periode sebelum dimulainya masa Mu’awiyah.[8]
Dalam hal ini, tampaknya Watt ingin
menghilangkan korelasi peristiwa tersebut dengan kepentingan data-data
teologis yang terkait dengan
“penyelamatan akidah umat”. Untuk selanjutnya Watt ingin menciptakan kesan
bahwa perilaku umat Islam yang dipresentasikan oleh seorang khalifah pertama,
Abu Bakar, yang notabenenya sebagai pemimpin sekaligus figur umat Islam setelah
Nabi Muhammad, masih dipengaruhi oleh prilaku-prilaku Arab-jahiliyah yang
senang bertikai antar suku.
Disamping itu paparan di atas juga
menunjukkan, bahwa Montgomery Watt dalam memandang fenomena tersebut cenderung
memisahkan aspek teologi dan politik. Padahal pada dasarnya aspek agama dan
politik senantiasa bergandengan. Berbeda dengan Ignaz Golziher yang berdasarkan
pada pemikiran bahwa masalah teologi, politik, hukum, bahkan etika, bermula
dari masalah politik yang akhirnya berkembang ke dalam masalah-masalah politik.[9]
Selanjutnya dikatakan bahwa
sebenarnya persaingan antar dua suku besar di Madinah terus berlangsung sampai
menjelang kematian Muhammad. Di dalam pemilihan pengganti, kecemburuan penduduk
Madinah (kaum Anshar) terhadap penduduk Makkah (kaum Muhajirin) mulai
terlihat. Pada saat perang terhadap
“kaum murtad”, suku-suku nomaden tertentu menentang penduduk Madinah, penduduk
Makkah dan suku-suku nomaden yang lain. Dan kenaikan Ali bin Abi Thalib pada tampuk
kekuasaan telah membuka benturan/pertikaian yang sedikitnya melibatkan tiga
kelompok masyarakat Makkah.[10]
Dalam konteks itu pula, maka Watt
dalam memandang fenomena Khawarij, yang oleh sebagian besar sejarawan dianggap
sebagai “rebel” (pemberontak), dalam
suatu studi teologi tidak menunjukkan demikian. Menurutnya, kejadian-kejadian
yang muncul pada masa Ali ataupun Mu’awiyah, bukanlah merupakan ketidaksukaan
mereka terhadap pribadi kedua tokoh tersebut. Namun hal itu lebih disebabkan
karena situasi dan kondisi saat itu.[11]
Orang-orang yang terlibat dalam kelompok
Khawarij tersebut bukan berasal dari Makkah atau Madinah, akan tetapi terdiri
dari orang-orang yang berasal dari suku nomaden. Tiga puluh tahun sebelum itu,
nenek moyang mereka telah mengalami kehidupan bebas di gurun. Namun kini mereka
terperangkap di dalam organisasi yang besar tentara muslim. Ketika pertempuran
selesai, mereka tidak kembali ke gurun pasir, tempat mereka semula, tetapi
tinggal di barak-barak baik di Irak maupun Mesir. Pada masa itu orang Islam
diwajibkan mengikuti dinas militer, dan sebagai kompensasinya memperoleh gaji
tetap dari negara. Besarnya gaji berbeda-beda bergantung pada posisi prioritas
keluarga masuk Islam. Meskipun di dalam banyak hal terdapat celah yang dapat
menimbulkan berbagai ketidak puasan ekonomi, tetapi hal yang demikian tidak
pernah terjadi.[12] Jadi, ekonomi oriented yang menjadi faktor pendorong
utama kelompok ini memisahkan diri/keluar dan lebih memilih sebagai kelompok
oposisi.
Dalam hal ini tampaknya Watt memberikan
penilaian yang cukup logis bahwa pembelotan kaum Khawarij karena kondisi dan
situasi yang kurang bersahabat. Sehingga dapat mempengaruhi kondisi psikologis
seseorang, yakni dengan mengedepankan emosional, atau dalam kondisi “memaksa”
apapun dilakukan demi mencapai “sesuatu” yang dianggap jauh lebih baik.
Perasaan tidak nyaman dan tidak aman
adalah konsekuensi dari perubahan yang serba cepat dan mendadak. Hipotesa itu
diajukan oleh Watt, dengan argumentasi kecemburuan pihak Khawarij terhadap
pihak Shi’ah juga telah turut mendukung reaksi pembelotan itu. Suatu kondisi
yang dianggapnya tidak ada kepastian dan krisis yang terus mendera, mendorong
orang untuk mencari “keselamatan diri” dengan berpegang terhadap pengalaman
masa lalu yang menurutnya terbukti sangat memuaskan. Lebih jauh lagi, timbulnya
gerakan Shi’ah adalah berbeda dalam merespon kondisi yang sama (baca: perasaan
tidak aman dan tidak nyaman).[13]
Suatu kondisi yang tidak aman dan
krisis, telah mendorong seseorang untuk mencari “perlindungan diri” terhadap
sesuatu yang ada pada pengalaman masa lalunya, yang dianggap sangat memuaskan
dan mendasar. Sebagian besar orang-orang percaya bahwa keselamatan (pencapaian
tujuan akhir dalam kehidupan manusia) dapat dicapai dengan mengikuti seorang
pemimpin yang diberkati dengan sifat-sifat istimewa yang tidak dimiliki oleh
manusia pada umumnya. Sifat-sifat
demikian dipercaya merupakan karunia Tuhan, meskipun kadang-kadang lebih
dipandang sebagai sifat alami, atau dalam sosiologi dikenal dengan term
“kharismatik” atau disebut dengan “pemimpin kharismatik”.[14]
Lebih jauh lagi Watt menjelaskan,[15] bahwa terdapat dua point
penting yang dapat menjelaskan masing-masing kedua aliran tersebut. Pertama,
terdapat kemiripan antara kelompok kecil pemberontak dari kalangan Khawarij
dengan masyarakat nomaden yang efektif. Biasanya mereka ini muncul sejak
pemerintahan Ali dan Umayyah. Mereka yang terlibat bervariasi jumlahnya, antara
lima puluh sampai lima ratus dengan rata-rata sekitar dua ratus.Mereka tidak
pulang kembali ke gurun, tetapi tinggal di pinaggiran kota Iraq. Mereka
mendapatkan makanan dengan merampas dan merampok, oleh karenanya pemerintah
menekannya.
Point kedua yang perlu dicatat
adalah jika orang bertanya Khawarij dan Shi’ah itu termasuk suku yang mana,
perbedaan yang pasti tidak ditemukan. Perbedaan itu tidak absolut, terdapat
banyak suku, namun dapat dikatakan: (1)
Sebagian besar Shi’ah berasal dari suku Selatan Arabia. (2) Tokoh-tokoh pemikir
serta sekte-sekte kaum Khawarij (selama periode Umayyah, secara keseluruhan)
berasal dari tiga suku utara. Lebih dari
tiu kelihatannya tidak ada sesuatu hal dalam sejarah antara tahun 622 sampai
656 yang dapat menjelaskan reaksi kedua kelompok itu. Suku-suku Selatan ini
telah terlebih dahulu ikut peperangan ke Iraq, namun setidaknya satu suku
terkemuka telah ikut pergi dalam penyerangan awal. Ali telah dikirim oleh
Muhammad untuk melaksanakan tugas dakwa ke Arab selatan, tetapi tidak
disebutkan mendapat sambutan/pengaruh dari masyarakat.
Selanjutnya Watt, mengajukan
hipotesanya bahwa perbedaaan reksi itu bersumber pada tradisi yang sudah
berabad-abad . Bagaimanapun suku-suku Arabia Selatan mempunyai kaitan dengan
peradaban kuno daerah itu yang berumur lebih tua seribu tahun. Dalam peradaban
ini telah dikenal adanya raja yang dipandang sebagai Tuhan atau setengah Tuhan. Dapat dipastikan
kendatipun pada abad ke 7 suku-suku Arab belum diperintah oleh seorang raja,
namun ketika mereka mengalami persoalan, mereka cenderung menggantungkan diri
kepada kepemimpinan yang bersifat “super human”. Berdasarkan kepercayaan ini,
masayarakatnya dalam kondisi krisis, mencari sejenis itu, dan mereka
menemukannya sosok “pribadi Ali”.
Maka hal yang wajar jika belakangan
kelompok ini menganggap bahwa Ali merupakan orang yang maksum (bebas dari salah).
Sementara suku-suku Arabia utara,
tidak pernah berada dalam lingkungan yang raja-rajanya adalah titisan Tuhan.
Sebaliknya, merupakan kebiasaan suku-suku nomaden untuk memandang bahwa semua
laki-laki dewasa dalam hal-hal tertentu sederajat. Untuk itulah maka kelompok
ini tidak mau mengakui Ali sebagai orang yang maksum. Kelompok Khawarij ini cenderung berusaha untuk mendapatkan kepastian bahwa
masyarakatnya adalah masyarakat kharisma, maka barang siapa yan berbuat dosa
harus dikeluarkan dari kelompoknya.[16]
C.
KESIMPULAN
Dari beberapa paparan di atas, penulis dapat
menyimpulkan bahwa disamping faktor teologis dan politik, masih terdapat banyak
faktor yang menyebabkan munculnya perpecahan di kalangan umat Islam, khususnya
sesudah Nabi Muhammad SAW. meninggal dunia, antara lain sebagai berikut:
1. Fanatisme kearaban (Ashabiyah al-‘Arabiyah), sekalipun Islam sejak awal hadir untuk
memerangi fanatisme, sebagaimana firman-Nya: “Hai manusia, sesungguhnya Kami
menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan perempuan dan menjadikan kakmu
berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal” (QS: 49:13). Dengan
demikian maka munculnya fanatisme ini telah melahirkan dampak yang sangat luas,
terutama bagi perkembangan pemikiran Islam berikutnya.
2. Kondisi internal bangsa Arab pada umumnya, dimana
antar suku saling bersaing dan senantiasa membanggakan suku dan keturunannya.
Dalam pengamatan Ibn Khaldun, bahwa salah satu sifat dan watak orang Arab
adalah setiap orang ingin menjadi pemimpin. Dengan kata lain sifat kepala batu
mereka merupakan penghalang utama bagi terciptanya persatuan dan kesatuan di
kalangan mereka. Fenomena historis seperti itu, berlangsung sampai
berabad-abad. Dalam hal ini seringkali kepentingan bersama terkalahkan oleh
kepentingan-kepentingan kelompok.
3. Kontak yang dialami oleh umat Islam dengan
penganut agama-agama lain, yang sebagian penganutnya akhirnya memeluk agama
Islam. Sehingga seringkali domain pemikiran mereka terhadap kebenaran agama
Islam masih diwarnai sorotan kepercayaan mereka yang lama.
Selain
yang tersebut di atas, sesungguhnya tesa-tesa yang diajukan oleh Watt tersebut
masih membutuhkan penelitian lebih lanjut.
Terlepas dari kredibelitas Watt yang dikenal sebagai sosok yang lembut
dan simpatik pada Islam serta dinilai banyak orang sebagai sangat teliti dan
hati-hati dalam mempelajari sumber-sumber Islam, namun sesungguhnya ada
bagian-bagian pemikirannya yang cenderung provokatif dan sedikit
“tendensius”.
DAFTAR PUSTAKA
Amin, Ahmad. Fajr al-Islam,
Kairo: Maktab al-Nahdah al-Misriyyah, 1961.
Golziher,Ignaz. Introduction to Islamic Theologi and Law, Terj.
Andras and Ruth Hamori, Princeton:
University Press, 1981.
Halm, Heinz. Shiism, Edinburg:University
Press, 1991.
Jafri, S.H.F. The Origins and Early Development of Shi’a
Islam, Qum: The group of Muslims,
Safiyah Avenu, tt .
Lewis, B., ed. et.al. “Ghadir Khumm”, Encyclopaedia of Islam, Vol. 2, Leiden: E. J. Brill, 1991
Watt, W. Montgomery. Pemikiran
Teologi dan Filsafat Islam, Terj. Masdar F. Mas’udi Jakarta: P3M, 1987.
Watt, W. Montgomery. Islamic
Philoshopy And Theology, Edinburg: University Press, 1987.
[1]Perbedaan
pendapat dikalangan sejarawan sangat bervariatif, bahkan ada yang cenderung
menekankan pada aspek-aspek non Islam, seperti agama Kristen dan Yahudi
mempunyai peran yang sangat penting dalam membentuk ajaran Shi’ah. Sikap
demikian itu, misalnya terlihat dalam Fajr
al- Islam karya Ahmad Amin, dinyatakan bahwa Shi’isme menjadi tempat bagi
setiap orang yang bermaksud hendak menghancurkan Islam. Agama Yahudi muncul
dalam Shi’isme dengan konsep raj’ah
(kembali) dan ajaran Kristen muncul dalam konsep tentang hubungan antara iman
dan Tuhan sebagaimana hubungan antara Yesus dan Tuhan. Lihat Ahmad Amin, Fajr al-Islam, (Kairo: Maktab al-Nahdah
al-Misriyyah, 1961), 276. Demikian pula al-Tabary menyebutkan, bahwa peran
Abdullah bin Saba’ sangat besar dalam melahirkan Shi’ah, seorang Yahudi yang
berhasil menyusup ke tengah-tengah masyarakat Muslim.
[2] Nabi
Muhammad meninggal pada 8 Juni 632. Lihat Heinz Halm, Shiism, (Edinburg: Edinburg University Press, 1991), 6.
[3]
Dikalangan sejarawan, kedua faktor tersebut merupakan asumsi yang dominan
sebagai sumber pencetus munculnya sekte
Shi’ah.
[4]
Pemahaman pada Ghadir Khumm telah memancing perdebatan yang cukup tajam bukan
cuma antara Syi’ah-Khawarij tapi juga
muncul antara dua mazhab besar, Sunni-Shi’i. Oeh pihak Sunni peristiwa Ghadir
Khumm ditafsirkannya sebagai pembelaan terhadap Ali, yang sama sekali tidak
mengandung wasiat kepemimpinan. Ghadir Khumm merupakan nama telaga yang
terletak di daerah yang bernama Khumm, antara Makkah dan Madinah, kurang lebih
3 mil dari Juhfah. Air yang mengisi telaga itu berasal dari mata air yang
muncul dari sebuah oase, dan darinya air itu mengalir ke laut sejauh sekitar 6
mil, sepanjang lembah yang juga disebut Khumm. Nama itu tidak lagi digunakan.
Karena tempat itu sering diairi oleh hujan, di sana ada tumbuh-tumbuhan yang
menjadi pelindung matahari di sekitar danau itu dan disana juga dibangun
masijid. Lihat B. Lewis, ed. et.al. “Ghadir Khumm”, Encyclopaedia of Islam, Vol. 2, (Leiden: E. J. Brill, 1991), 993.
[5]
Peristiwa itu terjadi pada 18 Dhul-Hijjah/10 Maret 632, ketika Muhammad kembali
dari haji wada’. Lihat S.H.F. Jafri, The
Origins and Early Development of Shi’a Islam, (Qum: The group of Muslims,
Safiyah Avenu, tt.), 19.
[6]
Artinya Khulafa’ Al-Rasyidun. Lihat
W. Montgomery Watt, Pemikiran Teologi dan
Filsafat Islam, Terj. Masdar F. Mas’udi (Jakarta: P3M, 1987), 7.
[7] W.
Montgomery Watt, Islamic Philoshopy And
Theology, (Edinburg: University Press, 1987), 1.
[8]
Ibid, 2.
.
[9] Ignaz
Golziher, Introduction to Islamic
Theologi and Law, Terj. Andras and Ruth Hamori, (Princeton: University
Press, 1981), 168.
[10]Watt, Islamic,2. Kelompok pertama yaitu mereka yang mendukung Ali sebagai
khalifah dan mengingkari ketiga khalifah pertama atau yang dikenal dengan
istilah Shi’ah. Kelompok kedua yaitu mereka yang mendukung Mu’awiyah sebagai
khalifah serta mengakui keabsahan ketiga khalifah pertama. Sementara kelompok
ketiga adalah mereka yang semula mendukung Ali bin Abi Thalib, namun pada
akhirnya memisahkan diri dan menjadi oposisi baik terhadap Shi’ah maupun
Mu’awiyah. Kelompok terakhir inilah yang belakangan dikenal dengan kelompok
Khawarij.
[11]Ibid,
3.
[12]
Ibid.
[13]
Ibid.
[14]
Ibid, 3-4.
[15] Ibid
5-6.
[16]
Ibid.