"Kekayaan spiritual dalam wujud moralitas yang mulia lebih berharga daripada kekayaan material yang diperoleh dan dinikmati tanpa kemuliaan moralitas"
Kamis, 19 Mei 2016
BERITA DUKA ITU MENJELANG RAMADHAN TIBA...
Menurut
hitungan kalender Hijriyah, saat ini sudah memasuki bulan Sya’ban. Itu artinya
sebentar lagi umat Islam akan segera menikmati indahnya jamuan pahala ibadah di
bulan yang mulia, bulan Ramadlan. Beberapa minggu terakhir ini, entah kenapa,
setelah mendengar beberapa orang berilmu dipanggil berpulang ke rahmatullah,
mendadak terlintas dalam benak saya, terhadap keistimewaan bulan Ramadlan.
Kembali terngiang dengan jelas ceramah para ustadz di bulan suci yang lalu,
seolah-olah baru tadi malam mendengarnya. Para ustadz itu sering mengingatkan
jamaahnya akan pentingnya kesungguhan untuk meraih ampunan, rahmat dan
pertolonganNya di bulan suci yang bertabur berkah. Rahmat dan ampunan dari-Nya
sangat mudah kita raih melalui kesungguhan menjalankan ibadah puasa di bulan
itu. Menurut ustadz, tidak semua orang mempunyai kesempatan untuk menikmati
"hidangan" taburan berkah istimewa yang dijanjikan Allah hanya ada di
bulan Ramadlan. iya, tidak semua orang memiliki kesempatan untuk berjumpa
dengan indahnya Ramadlan. Karena ajal tidak ada yang tahu. Maka amat rugilah
bagi mereka yang masih dikaruniai usia di bulan Ramadhan, namun tidak maksimal
meraih apa yang dijanjikan Allah. Demi kemulian bulan Ramadlan itulah, maka ketika
kita mulai memasuki bulan Rajab, Nabi mengajarkan sebuah doa, supaya umur
kita ditakdirkan oleh Allah untuk masih bisa melaksanakan ibadah di bulan mulia
itu. Allahumma barik lana fi rajaba
wa sya’bana wa barik lana fi ramdhana (Ya Allah berkahilah kami di bulan
Rajab dan bulan Sya’ban dan berkahilah
pula di bulan Ramadhan).
Betapa
banyak orang-orang yang kita kenal telah berpulang mendahului kita. Sungguh akhir-akhir
ini saya sering dikejutkan dengan berita duka secara bertubi-tubi tentang
berpulangnya orang-orang berilmu. Mulai dari seorang Kiai yang sangat besar kontribusinya
bagi perkembangan islamic studies (pakar hadist) bangsa ini, Prof. KH.
Ali Musthafa Ya'kub, MA. Beliau merupakan Imam besar Masjid Nasional,
Istiqlal, guru besar UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta. Ternyata setelah membaca
biografinya, beliau adalah pernah menjadi santri dimana tempat penulis juga
belajar di sana, ponpes Seblak, Jombang. Tidak berapa lama kemudian, terdengar
kabar duka lagi, seorang kolega senior di Fakultas Adab dan Humaniora, UIN SA
Surabya, Dra. Lilik Zulaicha, M.Hum., aktivis gender dan mantan Pembantu Dekan
I ini meninggal dunia dalam usia yang masih relatif produktif. Karena beberapa
bulan sebelum beliau masuk rumah sakit, penulis sempat berjumpa di kantor
dengan fisik yang memang agak kurusan. Dengan senyum khasnya, beliau kusapa,
dan sembari saya puji dengan perubahan badannya yang agak langsing, tetapi
beliau katakan bahwa itu semua karena sakit, yang semula penulis kira karena
diet. Namun beliau tetap semangat mengajar dan diskusi dengan beberapa dosen
dan masih tetap optimis terhadap penyakitnya. Pada saat bersamaan, pada hari
dan jam yang sama, penulis pun menerima kabar duka bahwa seorang sepupu
suamiku, ibu Setyawati juga berpulang. Seorang wanita energik, cantik, dan baik
hati. ia juga seorang dosen di salah satu Universitas swasta populer di Jawa
Timur. Jelang beberapa hari kemudian, kabar duka kembali terulang. Kali ini
adalah seorang guru besar UIN Sunan Ampel Surabaya, Prof. H. Syaiful Anam, MA,
mantan Pembantu Rektor III, dan saat ini beliau merupakan seorang ketua Lembaga
Jaminan Mutu (LPM), sekaligus tercatat sebagai seorang pakar tarjih di
PWM tingkat Jatim. beberapa minggu kemudian, terdengar kabar duka lagi, seorang
ulama terkemuka sekaligus seorang mursyid TQN, sekaligus Rais Syuriah
PBNU, KH. Ahmad Dimyati Romli, dari ponpes Rejoso, Jombang.
Kabar
duka kembali datang kepada penulis, kali ini adalah seorang guru atau muqaddam
terekat Tijaniyah, KH. Fauzan Fathullah Adziman. Kabar ini begitu
mengagetkan penulis, bukan hanya karena beliau merupakan informan kunci dalam
riset saya. tetapi yang tak kalah mengangetkan adalah bahwa beliau wafat
ternyata sudah sekitar 2 bulan yang lalu. Saya sangat berduka, karena itu
berarti cita-cita saya untuk menghadirkan beliau ketika nanti ujian promosi,
gagal. Dan beliau merupakan sosok kyai yang ilmuwan, wawasannya luas, santun,
namun sekaligus figur yang sangat bersahaja. Sejak masih muda tampaknya, beliau
merupakan sosok ulama' yang produktif. Perjumpaan saya dengan beliau sungguh
membawa kesan yang sangat mendalam, saya diberi hadiah beberapa karyanya yang
terkait dengan tarekat Tijaniyah. Seorang Kyai yang ramah terhadap siapapun.
Oleh karenanya, tidak heran jika seorang ilmuwan Belanda menyebut alm. Kyai
Fauzan ini adalah sebagai intelektualnya tarekat Tijaniyah. Pemahaman beliau
yang sangat mendalam terhadap doktrin-doktrin tarekat, sungguh membuat penulis
beta berlama-lama melakukan diskusi dengan beliau. Ya Allah.....paringi Kyai
Fauzan tempat yang mulia di sisi-MU. Saya bersaksi bahwa beliau adalah orang
sholeh. Jadikan alam barzakhnya, sebagai bagian dari taman sorga firdaus-MU.
Amin....
Selanjutnya
berita duka menimpa teman kami. Senin pagi, 16 Mei 2016, mendengar kabar bahwa
mama dari teman kami, bu Nova Effenty Muhamamd, berpulang, keluarganya yang
dari Gorontalo mengabarkan itu. Sungguh, beri itu membuat teman-teman PIES
semua berduka. Turut bersedih. Kami semua hanya mampu terdiam, membisu, dan tak
sanggup melukiskan dengan kata-kata apa yang kami rasakan. Sabar bu Nova, ini
semua adalah bagian dari skenario Allah. Ya Rabb... Inna lillahi wa inna
ilaihi rajiun. Semoga Allah mengampuni dosa dan khilaf almarhum dan
almarhumah semuanya, dan Allah memasukkan beliau semua ke dalam sorgaNYA. Amin.
Langganan:
Komentar (Atom)