Keyakinan dan matinya rasional
Suatu keyakinan seringkala mengalahkan akal sehat dan nalar
ilmiah.
Semua bisa terjadi
karena keyakinan.
Makanya tidak perlu heran,
jika terdapat seseorang yang
demi membela keyakinannya,
nama besar dan gelar akademik menjadi taruhannya.
Sekitar dua
minggu terakhir ini, kasus demi kasus melanda sebuah negeri antah berantah,
dengan berbagai issue yang mencuat ke permukaan. Belum selesai drama sinetron
kopi sianida yang nyaris tiap hari menghiasi layar kaca nasional, sampai
membuat muak sebagian masyarakat. Berbagai pertanyaan munyelimuti benak
masyarakat. Siapa mereka ini? Pertanyaan semacam ini muncul karena kasus ini
dianggap nyaris menguasai media. Beritanya lama ditayangkan dan diekspos besar-besaran
tanpa ada kejelasan putusan hukum.
Lalu Muncul euforia
pilgub DKI dengan tiga pasang kandidat spektakuler yang diusung partai.
Pasangan Ahok-Jarot, pasangan Anis Baswedan-Sandiago Uno, dan pasangan Agus
Yudhoyo-Sylviana Murni. Berita ini cukup
menyedot perhatian publik se-Indonesia. Walaupun warga luar Jakarta tidak ikut
memilih dalam pilgub tersebut, tetapi isu pilihan gubernur DKI orang china atau
pribumi asli sangat menarik dan hangat dibincangkan masyarakat nasional, baik melalui
medsos (fb, twiter, dll) ataupun massege (wa, bbm, telegram, dll). Di salah
satu group tempat saya bekerja pun tak luput juga diskusi tentang ini.
Dengan berbagai “kacamata” yang digunakan, ada yang membela mati-matian dengan
alasan kelebihan-kelebihan candidat petahana (incumbent) walaupun non Islam,
tetapi tentu banyak juga yang menolak. Masing-masing memiliki argumentasi
sesuai selera dan pilihannya.
Dari
infotaiment masyarakat disuguhi tontonan drama tertangkapnya pemakai narkoba,
seorang artis cabul yang dibungkus dengan jubah guru spiritual, Aa gatot, dan
artis terkenal reza, pun turut diseret yang berwajib. Tidak lama kemudian tiba-tiba
masyarakat dikejutkan dengan munculnya pemberitaan tertangkapnya seorang “wali”
sakti yang memiliki ribuan pengikut. Untuk meyakinkan masyarakat tak lupa dia
menggunakan rekayasa atribut agama dan nama kebesaran bergelar bangsawan, Kanjeng Dimas
Taat Pribadi. Konon dengan kesaktiannya ia memiliki kemampuan hebat, bisa
menarik barang-barang anti dari dalam tanah dan menggandakan uang.
Para pengikutnya tentu sangat percaya dan yakin pada “kesaktian” yang dimiliki sang
kanjeng, demikian ia dipanngil. Lagi-lagi agama begitu laris dijadikan sebagai cover untuk
menarik simpati masyarakat.
Berita
kemampuannya menggandakan uang menjadi berita nasional. Sebagian masyarakat mentertawakannya karena dianggap konyol, sesat dan irrasional. Tetapi bagi
para pengikutnya, sang kanjeng diyakini memiliki “karomah” dan ilmu yang cukup tinggi, yang sulit dinalar
dan tidak semua orang mampu mencapai pemahaman ini. Kalimat ini seakan
begitu heroik yang diperdengarkan oleh salah seorang politisi kawakan yang bergelar professor. Bagi sang professor, “Jika Allah sudah berkehendak, jangankan
uang, istana saja bisa kok dipindahkan, seperti dalam kisah Nabi Sulaiman di
dalam Alquran”. Khalayak pun terperangah dan seakan dibuat tak percaya. Batinku
berkata, begitu hebatkah charisma seorang kanjeng ini, dengan modal
sedikit pengetahuan agama dan mengemasnya dengan bahasa-bahasa atau cover agama untuk
memperdaya orang lain, seperti sebutan “santri” bagi para pengikutnya, ada
istilah shalawat fulus, dan istighasah. Istilah-istilah tersebut tampak
cukup efektif untuk mengelabui masyarakat yang memiliki bekal pengetahuan
ilmu agama dangkal. Sehingga ia cukup sukses dan bahkan banyak pula kaum terdidik terseret ke dalam pusaran penipuan yang dikemas dengan cantik melalui
bungkus agama. Kali pertama saya membaca berita tentang terseretnya si profesor ini, saya mengira ini hanyalah hoax belaka, karena sungguh hebat pesan kanjeng Dimas
yang dapat menaklukkan rasionalitas dan kecerdasan seorang professor, alumni perguruan
tinggi ternama di Amerika. Menurut pengakuan sang professor, “Saya membutuhkan
waktu satu tahun untuk merenung dan berpikir sebelum memutuskan bergabung dengan beliau”. Sungguh sebuah pengakuan mencengangkan,
sekaligus sebuah tontonan yang begitu “nendang” dan tentu saja sangat menarik bagi rakyat
Indonesia.
Mengingat lokasi
penelitian riset saya di wilayah Probolinggo, maka sudah sejak lama -sekitar 4
tahun yang lalu, ketika riset ini dimulai- saya sebetulnya sudah mendengar langsung
tentang fenomena penggandaan uang yang dilakukan kanjeng Dimas ini. Secara
sosiologis, mayoritas masyarakat di wilayah tapal kuda ini masih dibuai kepercayaan
mistis dan tahayul semacam ini. Ditengah-tengah riset tentang tarekat Tijaniyah di
wilayah ini, masyarakat bercerita mengenai banyaknya korban “berjatuhan” akibat
ulah si kanjeng ini. Diantaranya, mereka yang semula tergiur dengan
bisnis penggandaan uang ini, akhirnya banyak mengalami kebangkrutan finansial karena uang yang dijanjikan dua kali lipat, lebih banyak dari sebelumnya, tak kunjung tiba. Alhasil, banyak anak terlantar karena orang tuanya jatuh miskin dan tidak
mampu membayar biaya sekolah, keluarga berantakan, stress, linglung, dan
lain sebagainya. Namun mereka tidak ada yang berani melapor kepada polisi, mereka takut melakukan itu. Konon si kanjeng ini adalah “orang kuat”, karena ia dikelilingi
korak-korak jagoan, kelompok blater yang siap bertanding dan membunuh, serta di
back up beberapa oknum polisi, baik di tingkat polres maupun polda. Sungguh
memprihatinkan! Jika dikaitkan dengan riset saya, tentu tidak nyambung.
Namun saya bisa memahami, mengingat tipologi masyarakat yang masih
banyak memiliki kepercayaan terhadap mistis, apalagi ketika menghadapi
kesulitan-kesulitan hidup dan nafsu keserakahan, maka dengan mudah mereka tertipu.
Para ulama tampaknya tidak memiliki power bargaining yang cukup dalam
membentengi akidah ummatnya. Sehingga banyak masyarakat yang terjebak
dan terjerumus ke dalam tipuan menggiurkan ini.
Kasus kanjeng
ini merupakan representasi bangsa Indonesia abad ini. Sebuah bangsa yang baru
saja merayakan kemerdekaannya 71 tahun, namun kondisi masyarakatnya masih
didominasi oleh pseudo scientific. Berita ini begitu heboh dan Probolinggo
menjadi terkenal di tingkat nasional. Probolinggo, adalah sebuah kabupaten yang
terletak di wilayah Jawa Timur dan sekitar 80% penduduknya adalah etnis Madura. Kanjeng Dimas Taat Pribadi adalah
actor utama dalam hal ini. Namanya mendadak banyak dibincangkan dan menjadi bintang popular penggandaan uang. Pengikutnya demikian banyak, tidak hanya terdiri dari rakyat jelata yang mayoritas awam dan berpendidikan
rendah, kalangan menengah, pejabat dan kalangan terdidik dengan berbagai
profesi terhormat di pundaknya. Kanjeng Dimas menjadi pemberitaan utama yang disaksikan jutaan
orang, mulai dari rubrik berita-berita, kajian ilmiah, parodi, infotaimen hingga
perbincangan santai di warung kopi. Nah…yang tak kalah menarik adalah analisis si Tarjo di warung kopi ini. Sembari memegang rokok ditangannya, Tarjo bercerita kepada temannya yang duduk di sebelahnya, "Sebetulnya dengan tertangkapnya si kanjeng, arah angin dalam perspektif politik dengan mudah dapat dibaca". "Apa maksudmu jo? Coba terangkan biar lebih jelas lagi", ujar si Pardi yang kian penasaran. Tarjo lalu menjelaskan bak seorang dosen di hadapan mahasiswanya. Mengingat
terdapat beberapa pejabat dan "orang-orang besar" yang konon tunduk dibawah ketiak si kanjeng, Tarjo menganalisis, bahwa peristiwa tertangkapnya kanjeng Dimas itu merupakan bagian
dari modus politik yang dimainkan orang-orang besar yang terlibat di belakangnya, yang
jikalau terbukti maka nama-nama mereka ikut terlibat. Issue penggandaan uang
ini sengaja dihembuskan untuk mengalihkan perhatian publik, agar supaya praktik
money laundry para pejabat dan politikus ini tetap aman dan
terkendali. Sehingga tertangkapnya si kanjeng dengan alibi pembunuhan
terhadap dua orang mantan tangan kanannya, sekedar dijadikan korban agar kasus
ini tetap terlihat bernuansa criminal saja. Itulah salah satu strateginya, maka kemudian
kasus ini dikembangan kearah penipuan. Maka sempurna sudah skenario ini untuk
mengaburkan masalah intinya. Alhasil mereka yang bermain dibalik layar, tetap
aman.
Jikalau benar analisa Tarjo di atas, maka sesungguhnya masyarakat Indonesia saat ini
adalah sedang sakit. Bahkan penyakitnya sudah sangat akut. Menurut saya obatnya
adalah harus segera kembali dan berpegang teguh kepada agama. Sebagai bangsa beragama,
kita tentu dituntut untuk memelihara keimanan kita masing-masing tanpa
mengizinkan sedikitpun keyakinan suci ini ternodai pada selain-Nya. Jika ini terjadi
maka di dalam agama Islam, si pelaku termasuk ke dalam kategori sesat dan dosa
besar. Agama Islam memang memiliki dimensi spiritual dalam menyelami dan
pengalaman keberagamaan pemeluknya, yang dikenal dengan ilmu tasawuf. Dimana
tasawuf merupakan dimensi terdalam perjalanan spiritual seorang hamba untuk
menggapai cinta dan ridla Allah. Sehingga manakala derajat cinta Allah
dicapainya, maka Allah akan mencintai hamba tersebut. Dan bukanlah suatu yang
mustahil bagi Allah untuk membuat para kekasihnya memiliki
keistimewaan-keistimewaan tertentu di luar kemampuan nalar manusia biasa. Hal itu sangat mudah bagiNya. Keistimewaan yang diberikan kepada hamba-hambaNya yang
sholeh inilah yang disebut dengan karomah. Namun hal ini sangat jarang diketahui masyarakat luas, karena pada umumnya tidak diperbolehkan untuk
diekspose. Dalam hal ini biasanya hanya orang-orang tertentu yang boleh mengetahuinya. Sesuai prinsip dan tuntunan agama, semakin tinggi nilai
derajat manusia di sisi Allah, maka ia semakin tawadluk dan Allah akan
mengengkat derajat hambanya itu. Di dalam salah satu hadist qudsi,
Nabi bersabda: “Aku (Allah) adalah pendengarn yang dengannya dia mendengar dan
penlihatannya yang dengannya dia melihat dan tangannya yang dengannya dia
memukul dan kaki yang dengannya dia berjalan.”
Sebagai
kewaspadaan terhadap unsur intervensi makhluk-makhluk lain, maka para ulama tasawuf mengingatkan
kita dengan nasihatnya yang cukup popular di kalangan sufi : “Jikalau terdapat
seorang hamba yang memiliki kehebatan luar biasa, sekalipun dia bisa terbang,
maka janganlah kau mudah percaya kepadanya, sebelum kalian melihat secara
nyata bagaimana aspek-aspek perilaku
agama dia secara syariah”. Adagium ini sebenarnya memberikan pemahaman kepada kita,
bahwa memang benar terdapat orang-orang shaleh yang Allah beri karunia
luar biasa melampaui nalar manusia biasa. Namun ada pula orang-orang yang tidak
shaleh, karena berkolaborasi dengan makhluk halus (jin atau syetan) ia lantas
terlihat sangat hebat. Nah kelompok yang kedua inilah yang harus kita waspadai
dan tidak boleh diikuti. Jika tidak, maka sungguh ia termasuk orang-orang yang
sesat karena pengikut syetan. Sebagaimana termaktub di dalam Alquran, bahwa
“syetan itu adalah musuhmu yang sangat nyata bagi manusia” (QS.2:208)
Dalam kasus kanjeng Dimas ini, saya setuju dengan ulasan yang disampaikan para cendekiawan muslim
Indonesia, Prof. Azyumardi Azra, KH. Hasyim Muzadi, dan Machfud MD. Karena
kasus ini sangat sulit diterima secara akal sehat manusia beragama jika kita merujuk
kepada ajaran agama Islam. Apalagi menurut kesaksian Mahfud MD yang pernah
berkunjung ke padepokannya, secara kualitas ilmu agamanya masih sangat
diragukan. Oleh karena itulah sang ilmuwan, Marwah, kanjeng Dimas dan para
penmgikutnya disarankan untuk kembali ke
jalan yang lurus dan segera bertobat. Bayangkan untuk mengucapkan makharijul
huruf arab saja tidak fasih, bagaimana mungkin orang seperti ini
memiliki karomah yang diyakini oleh pengikutnya.
Wallahu alam.
Canberra, di musim semi, pukul 10.35 AM.