Kamis, 06 Oktober 2016

KANJENG OH KANJENG…. WALI SAKTI PENGGANDA UANG?


Keyakinan dan matinya rasional
Suatu keyakinan seringkala mengalahkan akal sehat dan nalar ilmiah.
 Semua bisa terjadi karena keyakinan.
Makanya tidak perlu heran,
 jika terdapat seseorang yang demi membela keyakinannya,
nama besar dan gelar akademik menjadi taruhannya.

Sekitar dua minggu terakhir ini, kasus demi kasus melanda sebuah negeri antah berantah, dengan berbagai issue yang mencuat ke permukaan. Belum selesai drama sinetron kopi sianida yang nyaris tiap hari menghiasi layar kaca nasional, sampai membuat muak sebagian masyarakat. Berbagai pertanyaan munyelimuti benak masyarakat. Siapa mereka ini? Pertanyaan semacam ini muncul karena kasus ini dianggap nyaris menguasai media. Beritanya lama ditayangkan dan diekspos besar-besaran tanpa ada kejelasan putusan hukum.

Lalu Muncul euforia pilgub DKI dengan tiga pasang kandidat spektakuler yang diusung partai. Pasangan Ahok-Jarot, pasangan Anis Baswedan-Sandiago Uno, dan pasangan Agus Yudhoyo-Sylviana Murni.  Berita ini cukup menyedot perhatian publik se-Indonesia. Walaupun warga luar Jakarta tidak ikut memilih dalam pilgub tersebut, tetapi isu pilihan gubernur DKI orang china atau pribumi asli sangat menarik dan hangat dibincangkan masyarakat nasional, baik melalui medsos (fb, twiter, dll) ataupun massege (wa, bbm, telegram, dll). Di salah satu group tempat saya bekerja pun tak luput juga diskusi tentang ini. Dengan berbagai “kacamata” yang digunakan, ada yang membela mati-matian dengan alasan kelebihan-kelebihan candidat petahana (incumbent) walaupun non Islam, tetapi tentu banyak juga yang menolak. Masing-masing memiliki argumentasi sesuai selera dan pilihannya.

Dari infotaiment masyarakat disuguhi tontonan drama tertangkapnya pemakai narkoba, seorang artis cabul yang dibungkus dengan jubah guru spiritual, Aa gatot, dan artis terkenal reza, pun turut diseret yang berwajib. Tidak lama kemudian tiba-tiba masyarakat dikejutkan dengan munculnya pemberitaan tertangkapnya seorang “wali” sakti yang memiliki ribuan pengikut. Untuk meyakinkan masyarakat tak lupa dia menggunakan rekayasa atribut agama dan nama kebesaran bergelar bangsawan, Kanjeng Dimas Taat Pribadi. Konon dengan kesaktiannya ia memiliki kemampuan hebat, bisa menarik barang-barang anti dari dalam tanah dan menggandakan uang. Para pengikutnya tentu sangat percaya dan yakin pada “kesaktian” yang dimiliki sang kanjeng, demikian ia dipanngil. Lagi-lagi agama begitu laris dijadikan sebagai cover untuk menarik simpati masyarakat. 

Berita kemampuannya menggandakan uang menjadi berita nasional. Sebagian masyarakat mentertawakannya karena dianggap konyol, sesat dan irrasional. Tetapi bagi para pengikutnya, sang kanjeng diyakini memiliki “karomah” dan  ilmu yang cukup tinggi, yang sulit dinalar dan tidak semua orang mampu mencapai pemahaman ini. Kalimat ini seakan begitu heroik yang diperdengarkan oleh salah seorang politisi kawakan yang bergelar professor. Bagi sang professor, “Jika Allah sudah berkehendak, jangankan uang, istana saja bisa kok dipindahkan, seperti dalam kisah Nabi Sulaiman di dalam Alquran”. Khalayak pun terperangah dan seakan dibuat tak percaya. Batinku berkata, begitu hebatkah charisma seorang kanjeng ini, dengan modal sedikit pengetahuan agama dan mengemasnya dengan bahasa-bahasa atau cover agama untuk memperdaya orang lain, seperti sebutan “santri” bagi para pengikutnya, ada istilah shalawat fulus, dan istighasah. Istilah-istilah tersebut tampak cukup efektif untuk mengelabui masyarakat yang memiliki bekal pengetahuan ilmu agama dangkal. Sehingga ia cukup sukses dan bahkan banyak pula kaum terdidik terseret ke dalam pusaran penipuan yang dikemas dengan cantik melalui bungkus agama. Kali pertama saya membaca berita tentang terseretnya si profesor ini, saya mengira ini hanyalah hoax belaka, karena sungguh hebat pesan kanjeng Dimas yang dapat menaklukkan rasionalitas dan kecerdasan seorang professor, alumni perguruan tinggi ternama di Amerika. Menurut pengakuan sang professor, “Saya membutuhkan waktu satu tahun untuk merenung dan berpikir sebelum memutuskan bergabung dengan beliau”.  Sungguh sebuah pengakuan mencengangkan, sekaligus sebuah tontonan yang begitu “nendang” dan tentu saja sangat menarik bagi rakyat Indonesia. 

Mengingat lokasi penelitian riset saya di wilayah Probolinggo, maka sudah sejak lama -sekitar 4 tahun yang lalu, ketika riset ini dimulai- saya sebetulnya sudah mendengar langsung tentang fenomena penggandaan uang yang dilakukan kanjeng Dimas ini. Secara sosiologis, mayoritas masyarakat di wilayah tapal kuda ini masih dibuai kepercayaan mistis dan tahayul semacam ini. Ditengah-tengah riset tentang tarekat Tijaniyah di wilayah ini, masyarakat bercerita mengenai banyaknya korban “berjatuhan” akibat ulah si kanjeng ini. Diantaranya, mereka yang semula tergiur dengan bisnis penggandaan uang ini, akhirnya banyak mengalami kebangkrutan finansial karena uang yang dijanjikan dua kali lipat, lebih banyak dari sebelumnya, tak kunjung tiba. Alhasil, banyak anak terlantar karena orang tuanya jatuh miskin dan tidak mampu membayar biaya sekolah, keluarga berantakan, stress, linglung, dan lain sebagainya. Namun mereka tidak ada yang berani melapor kepada polisi, mereka takut melakukan itu. Konon si kanjeng ini adalah “orang kuat”, karena ia dikelilingi korak-korak jagoan, kelompok blater yang siap bertanding dan membunuh, serta di back up beberapa oknum polisi, baik di tingkat polres maupun polda. Sungguh memprihatinkan! Jika dikaitkan dengan riset saya, tentu tidak nyambung. Namun saya bisa memahami, mengingat tipologi masyarakat yang masih banyak memiliki kepercayaan terhadap mistis, apalagi ketika menghadapi kesulitan-kesulitan hidup dan nafsu keserakahan, maka dengan mudah mereka tertipu. Para ulama tampaknya tidak memiliki power bargaining yang cukup dalam membentengi akidah ummatnya. Sehingga banyak masyarakat yang terjebak dan terjerumus ke dalam tipuan menggiurkan ini. 

Kasus kanjeng ini merupakan representasi bangsa Indonesia abad ini. Sebuah bangsa yang baru saja merayakan kemerdekaannya 71 tahun, namun kondisi masyarakatnya masih didominasi oleh pseudo scientific. Berita ini begitu heboh dan Probolinggo menjadi terkenal di tingkat nasional. Probolinggo, adalah sebuah kabupaten yang terletak di wilayah Jawa Timur dan sekitar 80% penduduknya adalah etnis Madura. Kanjeng Dimas Taat Pribadi adalah actor utama dalam hal ini. Namanya mendadak banyak dibincangkan dan menjadi bintang popular penggandaan uang. Pengikutnya demikian banyak, tidak hanya terdiri dari rakyat jelata yang mayoritas awam dan berpendidikan rendah, kalangan menengah, pejabat dan kalangan terdidik dengan berbagai profesi terhormat di pundaknya.  Kanjeng Dimas menjadi pemberitaan utama yang disaksikan jutaan orang, mulai dari rubrik berita-berita, kajian ilmiah, parodi, infotaimen hingga perbincangan santai di warung kopi. Nah…yang tak kalah menarik adalah analisis si Tarjo di warung kopi ini. Sembari memegang rokok ditangannya, Tarjo bercerita kepada temannya yang duduk di sebelahnya, "Sebetulnya dengan tertangkapnya si kanjeng, arah angin dalam perspektif politik dengan mudah dapat dibaca". "Apa maksudmu jo? Coba terangkan biar lebih jelas lagi", ujar si Pardi yang kian penasaran. Tarjo lalu menjelaskan bak seorang dosen di hadapan mahasiswanya. Mengingat terdapat beberapa pejabat dan "orang-orang besar" yang konon tunduk dibawah ketiak si kanjeng, Tarjo menganalisis, bahwa peristiwa tertangkapnya kanjeng Dimas itu merupakan bagian dari modus politik yang dimainkan orang-orang besar yang terlibat di belakangnya, yang jikalau terbukti maka nama-nama mereka ikut terlibat. Issue penggandaan uang ini sengaja dihembuskan untuk mengalihkan perhatian publik, agar supaya praktik money laundry para pejabat dan politikus ini tetap aman dan terkendali. Sehingga tertangkapnya si kanjeng dengan alibi pembunuhan terhadap dua orang mantan tangan kanannya, sekedar dijadikan korban agar kasus ini tetap terlihat bernuansa criminal saja. Itulah salah satu strateginya, maka kemudian kasus ini dikembangan kearah penipuan. Maka sempurna sudah skenario ini untuk mengaburkan masalah intinya. Alhasil mereka yang bermain dibalik layar, tetap aman. 

Jikalau benar analisa Tarjo di atas, maka sesungguhnya masyarakat Indonesia saat ini adalah sedang sakit. Bahkan penyakitnya sudah sangat akut. Menurut saya obatnya adalah harus segera kembali dan berpegang teguh kepada agama. Sebagai bangsa beragama, kita tentu dituntut untuk memelihara keimanan kita masing-masing tanpa mengizinkan sedikitpun keyakinan suci ini ternodai pada selain-Nya. Jika ini terjadi maka di dalam agama Islam, si pelaku termasuk ke dalam kategori sesat dan dosa besar. Agama Islam memang memiliki dimensi spiritual dalam menyelami dan pengalaman keberagamaan pemeluknya, yang dikenal dengan ilmu tasawuf. Dimana tasawuf merupakan dimensi terdalam perjalanan spiritual seorang hamba untuk menggapai cinta dan ridla Allah. Sehingga manakala derajat cinta Allah dicapainya, maka Allah akan mencintai hamba tersebut. Dan bukanlah suatu yang mustahil bagi Allah untuk membuat para kekasihnya memiliki keistimewaan-keistimewaan tertentu di luar kemampuan nalar manusia biasa. Hal itu sangat mudah bagiNya. Keistimewaan yang diberikan kepada hamba-hambaNya yang sholeh inilah yang disebut dengan karomah. Namun hal ini sangat jarang diketahui masyarakat luas, karena pada umumnya tidak diperbolehkan untuk diekspose. Dalam hal ini biasanya hanya orang-orang tertentu yang boleh mengetahuinya. Sesuai prinsip dan tuntunan agama, semakin tinggi nilai derajat manusia di sisi Allah, maka ia semakin tawadluk dan Allah akan mengengkat derajat hambanya itu. Di dalam salah satu hadist qudsi, Nabi bersabda: “Aku (Allah) adalah pendengarn yang dengannya dia mendengar dan penlihatannya yang dengannya dia melihat dan tangannya yang dengannya dia memukul dan kaki yang dengannya dia berjalan.”

Sebagai kewaspadaan terhadap unsur intervensi makhluk-makhluk lain, maka para ulama tasawuf mengingatkan kita dengan nasihatnya yang cukup popular di kalangan sufi : “Jikalau terdapat seorang hamba yang memiliki kehebatan luar biasa, sekalipun dia bisa terbang, maka janganlah kau mudah percaya kepadanya, sebelum kalian melihat secara nyata  bagaimana aspek-aspek perilaku agama dia secara syariah”. Adagium ini sebenarnya memberikan pemahaman kepada kita, bahwa memang benar terdapat orang-orang shaleh yang Allah beri karunia luar biasa melampaui nalar manusia biasa. Namun ada pula orang-orang yang tidak shaleh, karena berkolaborasi dengan makhluk halus (jin atau syetan) ia lantas terlihat sangat hebat. Nah kelompok yang kedua inilah yang harus kita waspadai dan tidak boleh diikuti. Jika tidak, maka sungguh ia termasuk orang-orang yang sesat karena pengikut syetan. Sebagaimana termaktub di dalam Alquran, bahwa “syetan itu adalah musuhmu yang sangat nyata bagi manusia” (QS.2:208) 

Dalam kasus kanjeng Dimas ini, saya setuju dengan ulasan yang disampaikan para cendekiawan muslim Indonesia, Prof. Azyumardi Azra, KH. Hasyim Muzadi, dan Machfud MD. Karena kasus ini sangat sulit diterima secara akal sehat manusia beragama jika kita merujuk kepada ajaran agama Islam. Apalagi menurut kesaksian Mahfud MD yang pernah berkunjung ke padepokannya, secara kualitas ilmu agamanya masih sangat diragukan. Oleh karena itulah sang ilmuwan, Marwah, kanjeng Dimas dan para penmgikutnya disarankan untuk kembali ke jalan yang lurus dan segera bertobat. Bayangkan untuk mengucapkan makharijul huruf arab saja tidak fasih, bagaimana mungkin orang seperti ini memiliki karomah yang diyakini oleh pengikutnya. 

Wallahu alam.
Canberra, di musim semi, pukul 10.35 AM.

Kamis, 19 Mei 2016

Acara Multiculture, Mei 2016 di Unihouse-ANU, Canberra. Teman-teman PIES menghadirkan "Tumpeng Nasi Kuning"

BERITA DUKA ITU MENJELANG RAMADHAN TIBA...




Menurut hitungan kalender Hijriyah, saat ini sudah memasuki bulan Sya’ban. Itu artinya sebentar lagi umat Islam akan segera menikmati indahnya jamuan pahala ibadah di bulan yang mulia, bulan Ramadlan. Beberapa minggu terakhir ini, entah kenapa, setelah mendengar beberapa orang berilmu dipanggil berpulang ke rahmatullah, mendadak terlintas dalam benak saya, terhadap keistimewaan bulan Ramadlan. Kembali terngiang dengan jelas ceramah para ustadz di bulan suci yang lalu, seolah-olah baru tadi malam mendengarnya. Para ustadz itu sering mengingatkan jamaahnya akan pentingnya kesungguhan untuk meraih ampunan, rahmat dan pertolonganNya di bulan suci yang bertabur berkah. Rahmat dan ampunan dari-Nya sangat mudah kita raih melalui kesungguhan menjalankan ibadah puasa di bulan itu. Menurut ustadz, tidak semua orang mempunyai kesempatan untuk menikmati "hidangan" taburan berkah istimewa yang dijanjikan Allah hanya ada di bulan Ramadlan. iya, tidak semua orang memiliki kesempatan untuk berjumpa dengan indahnya Ramadlan. Karena ajal tidak ada yang tahu. Maka amat rugilah bagi mereka yang masih dikaruniai usia di bulan Ramadhan, namun tidak maksimal meraih apa yang dijanjikan Allah. Demi kemulian bulan Ramadlan itulah, maka ketika kita mulai memasuki bulan Rajab, Nabi mengajarkan sebuah doa, supaya umur kita ditakdirkan oleh Allah untuk masih bisa melaksanakan ibadah di bulan mulia itu.  Allahumma barik lana fi rajaba wa sya’bana wa barik lana fi ramdhana (Ya Allah berkahilah kami di bulan Rajab dan bulan Sya’ban dan berkahilah  pula di bulan Ramadhan).
Betapa banyak orang-orang yang kita kenal telah berpulang mendahului kita. Sungguh akhir-akhir ini saya sering dikejutkan dengan berita duka secara bertubi-tubi tentang berpulangnya orang-orang berilmu. Mulai dari seorang Kiai yang sangat besar kontribusinya bagi perkembangan islamic studies (pakar hadist) bangsa ini, Prof. KH. Ali  Musthafa Ya'kub, MA. Beliau merupakan Imam besar Masjid Nasional, Istiqlal, guru besar UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta. Ternyata setelah membaca biografinya, beliau adalah pernah menjadi santri dimana tempat penulis juga belajar di sana, ponpes Seblak, Jombang. Tidak berapa lama kemudian, terdengar kabar duka lagi, seorang kolega senior di Fakultas Adab dan Humaniora, UIN SA Surabya, Dra. Lilik Zulaicha, M.Hum., aktivis gender dan mantan Pembantu Dekan I ini meninggal dunia dalam usia yang masih relatif produktif. Karena beberapa bulan sebelum beliau masuk rumah sakit, penulis sempat berjumpa di kantor dengan fisik yang memang agak kurusan. Dengan senyum khasnya, beliau kusapa, dan sembari saya puji dengan perubahan badannya yang agak langsing, tetapi beliau katakan bahwa itu semua karena sakit, yang semula penulis kira karena diet. Namun beliau tetap semangat mengajar dan diskusi dengan beberapa dosen dan masih tetap optimis terhadap penyakitnya. Pada saat bersamaan, pada hari dan jam yang sama, penulis pun menerima kabar duka bahwa seorang sepupu suamiku, ibu Setyawati juga berpulang. Seorang wanita energik, cantik, dan baik hati. ia juga seorang dosen di salah satu Universitas swasta populer di Jawa Timur. Jelang beberapa hari kemudian, kabar duka kembali terulang. Kali ini adalah seorang guru besar UIN Sunan Ampel Surabaya, Prof. H. Syaiful Anam, MA, mantan Pembantu Rektor III, dan saat ini beliau merupakan seorang ketua Lembaga Jaminan Mutu (LPM), sekaligus tercatat sebagai seorang pakar tarjih di PWM tingkat Jatim. beberapa minggu kemudian, terdengar kabar duka lagi, seorang ulama terkemuka sekaligus seorang mursyid TQN, sekaligus Rais Syuriah PBNU,  KH. Ahmad Dimyati Romli, dari ponpes Rejoso, Jombang.
Kabar duka kembali datang kepada penulis, kali ini adalah seorang guru atau muqaddam terekat Tijaniyah, KH. Fauzan Fathullah Adziman. Kabar ini begitu mengagetkan penulis, bukan hanya karena beliau merupakan informan kunci dalam riset saya. tetapi yang tak kalah mengangetkan adalah bahwa beliau wafat ternyata sudah sekitar 2 bulan yang lalu. Saya sangat berduka, karena itu berarti cita-cita saya untuk menghadirkan beliau ketika nanti ujian promosi, gagal. Dan beliau merupakan sosok kyai yang ilmuwan, wawasannya luas, santun, namun sekaligus figur yang sangat bersahaja. Sejak masih muda tampaknya, beliau merupakan sosok ulama' yang produktif. Perjumpaan saya dengan beliau sungguh membawa kesan yang sangat mendalam, saya diberi hadiah beberapa karyanya yang terkait dengan tarekat Tijaniyah. Seorang Kyai yang ramah terhadap siapapun. Oleh karenanya, tidak heran jika seorang ilmuwan Belanda menyebut alm. Kyai Fauzan ini adalah sebagai intelektualnya tarekat Tijaniyah. Pemahaman beliau yang sangat mendalam terhadap doktrin-doktrin tarekat, sungguh membuat penulis beta berlama-lama melakukan diskusi dengan beliau. Ya Allah.....paringi Kyai Fauzan tempat yang mulia di sisi-MU. Saya bersaksi bahwa beliau adalah orang sholeh. Jadikan alam barzakhnya, sebagai bagian dari taman sorga firdaus-MU. Amin....
Selanjutnya berita duka menimpa teman kami. Senin pagi, 16 Mei 2016, mendengar kabar bahwa mama dari teman kami, bu Nova Effenty Muhamamd, berpulang, keluarganya yang dari Gorontalo mengabarkan itu. Sungguh, beri itu membuat teman-teman PIES semua berduka. Turut bersedih. Kami semua hanya mampu terdiam, membisu, dan tak sanggup melukiskan dengan kata-kata apa yang kami rasakan. Sabar bu Nova, ini semua adalah bagian dari skenario Allah. Ya Rabb... Inna lillahi wa inna ilaihi rajiun. Semoga Allah mengampuni dosa dan khilaf almarhum dan almarhumah semuanya, dan Allah memasukkan beliau semua ke dalam sorgaNYA. Amin.


(Catatan ini dibuat di sela-sela penulis menyusun tulisan singkat tentang hasil riset disertasi, sebagai persiapan untuk saya peresentasikan dalam conference by PIES program 2016. ANU-Canberra, pada Jumat, 20 Mei 2016 pukul 1.16 PM. di Hedley Bull Building, office 4.58)