Selasa, 30 November 2010

Review Buku


Judul Buku          : Mistik Islam Kejawen Raden Ngabehi Ranggawarsita (Suatu Studi Terhadap Serat Wirid Hidayat Jati)
Penulis                : Simuh
Penerbit              : Universitas Indonesia (UI-Press)
Tahun                 : 1988
Tebal                  : ix + 399 halaman
                                                                                                                       

STUDI MISTISISME DALAM ISLAM DI JAWA
(Tinjauan Kritis terhadap karya Simuh: "Mistik 
Islam Kejawen Raden Ngabehi Ranggawarsita")


A.    Pendahuluan
Ketika saya membaca prakata di dalam buku ini, tampak karya ini merupakan hasil penelitian disertasi Simuh. Namun, sebelum membincangkan lebih jauh tentang apa dan bagaimana content dalam karya ini dengan tujuan mempermudah pembahasan, maka terlebih dahulu saya akan mencantumkan daftar isi dari karya ini sebagai berikut:
Pada bagian I berupa pendahuluan yang membahas tentang tinjauan secara umum tentang kepustakaan Islam santri dan Islam kejawen, wirid hidayat jati dan metode pendekatan yang digunakannya.
Kemudian pada bagian kedua, tentang sekitar kehidupan dan karya-karya Ranggawarsita. Pada bagian ketiga berisi tentang wirid hidayat Jati. Pembahasan mengenai hal ini terdiri dari tiga versi, yaitu versi naskah aslinya yang dalam tulisan aksara/huruf Jawa; lalu versi kedua alih tulisan naskah tersebut ke dalam huruf latin, dan yang ketiga adalah berupa terjemahannya.
Pada bagian keempat tentang Mistik Islam Kejawen Wirid Hidayat Jati. Di dalam bagian ini, pembahasannya berupa konsepsi tentang Tuhan, konsepsi tentang Manusia, Tuntutan Budi Luhur dan menekung, Penghayatan Gaib dan Insan Kamil, Rahasia Ilmu makrifat dan hubungan guru dengan murid. Pada bagian terakhir, adalah Kesimpulan.
 
B.     Simuh dan Karyanya tentang “Mistik Islam Kejawen”
Simuh adalah salah satu figure akademisi yang pernah mengenyam pendidikan di negeri Kanguru, tepatnya di Australian National University, Canberra, pada tahun 1981-1982. Namun demikian, latar belakang pendidikan luar negeri tersebut, dalam pandangan saya tidak terpengaruh pada kecintaannya terhadap budaya luhur peninggalan nenek moyang tanah air dimana dia dilahirkan, terbukti dengan modal disiplin ilmu yang dimilikinya ia mendedikasikan keilmuannya guna menggali peninggalan dan jejak-jejak sejarah Islam nusantara melalui salah satu karya penelitiannya ini.
Di dalam karya ini, Simuh menyampaikan bahwa di Jawa pasca runtuhnya kerajaan Majapahit, muncul kerajaan Demak dengan nuansa ajaran Islam yang dianut sebagai agama resmi kerajaan dan ajaran agama ini mulai mendapatkan pengaruhnya di masyarakat luas. Islam mulai “dilirik” dan diterima sebagai ajaran dalam kehidupan masyarakat Jawa. Namun demikian tentu saja ajaran agama Islam yang dianut dan dipraktekkan oleh sebagian masyarakat Jawa saat itu sarat dengan nuansa Jawa atau dalam konsepsi teori budaya dikenal dengan istilah sinkretis. Melalui buku ini, Simuh menyebut situasi yang demikian itu dengan istilah Islam kejawen, yang secara jelas dapat dibedakan dengan corak kehidupan Islam santri.
Diceritakan pula bahwa istilah Islam santri digunakan bagi orang yang menganut agama Islam dan dengan penuh kesadaran mengamalkannya secara konsisten dalam kehidupan sehari-hari sesuai dengan aturan normative agama (tuntunan syari’ah), baik mereka yang pernah belajar di pesantren atau tidak. Konsistensi terhadap syari’at sebagai tolak ukur yang membedakan antara mereka yang santri dan bukan santri (baca: Islam kejawen). Situasi demikian itu ternyata membawa implikasi yang cukup luas bagi perkembangan kepustakaan di dunia santri, dimana tentu saja sangat berbeda dengan kepustakaan yang tumbuh dan berkembangan di kalangan Islam kejawen.
Sebagaimana disinyalir oleh Simuh,[1] bahwa nama yang dipergunakan untuk menyebut kepustakaan Islam kejawen adalah primbon, wirid dan suluk. Suluk dan Wirid berkaitan isinya dengan ajaran tasawuf, yang sering disebut ajaran mistik dalam Islam. Karena kedua nama itu memang bersumber dari ajaran tasawuf. Adapun primbon isinya merangkum berbagai macam ajaran yang berkembang dalam tradisi Jawa, seperti ngelmu petung, ramalan, guna-guna dan lain-lainnya. Disamping itu primbon umumnya juga memuat aspek-aspek ajaran Islam.
Diantara kepustakaan kejawen yang lahir pada era perkembangan Islam di Jawa pada awal abad-abad perkembangan Islam pertama adalah karya Ranggawarsita ini, Wirid Hidayat Jati, yang kemudian menjadi fokus kajian Simuh dalam disertasinya, yang pada akhirnya dituangkan sebagai sebuah karya buku sebagaimana yang akan saya review ini.
Kalau ditinjau dari aspek metode pendekatan yang digunakan dalam karya ini, Simuh menggunakan pendekatan konsep-konsep filsafat. Pertama, Simuh berupaya menelaah Wirid Hidayat Jati sebagai suatu ajaran yang utuh, menganalisis dan memahami pokok-pokok ajaran yang terkandung di dalamnya. Upaya pemahaman tersebut tentu saja dalam konteks sebagaimana yang dipahami dan dijelaskan Ranggawarsita. Kedua, Menelusuri penjelasan tentang pokok-pokok ajaran Wirid Hidayat Jati yang tercermin dalam karya Ranggawarsita, serta menelusuri karya-karyanya yang lain sebagai pendukung. Ketiga, tanpa mengingkari posisi Ranggawarsita sebagai pujangga Istana, Simuh juga menelusuri dan membandingkan konsep-konsep yang dibangun Ranggawarsita dengan konsep-konsep yang ada di dalam serat suluk yang lain. Karena sebagai pengarang, tentu saja Ranggawarsita pun juga mendapat pengaruh dari karya-karya orang lain. Keempat, mencermati dan mengkritisi setting social masyarakat saat karya ini hadir, baik berupa perkembangan kebudayaannya maupun lingkungan social yang mengitari kehidupan Ranggawarsita.
Dalam penyajian tulisannya, kita jumpai dalam karya ini Simuh pertama-tama membincangkan mengenai siapa sosok Ranggawarsita itu dan sekaligus menjelaskan apa saja karya-karya tulis yang telah dihasilkannya. Pada bagian selanjutnya mulai ditulis secara lengkap naskah “Wirid Hidayat Jati” dalam bahasa dan huruf asli naskah karya Ranggawarsita ini, yang merupakan obyek utama penelitian dalam karya Simuh ini. Naskah asli Ranggawarsita ini terdiri dari bahasa dan huruf/aksara Jawa Kuno. Kemudian Simuh menyalinnya ke dalam huruf latin dan masih dalam bahasa naskah aslinya, yakni bahasa Jawa Kuno. Setelah penyalinan ini dianggap selesai dan tuntas, maka pada bab berikutnya naskah tersebut diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia secara lengkap tanpa tercecer sedikitpun secara bahasa.
Pada bab selanjutnya, karya ini membahas mengenai kandungan makna naskah “Wirid Hidayat Jati” tersebut baik secara tersirat maupun tersurat. Dengan kata lain pada bagian ini tampaknya penulis mulai melakukan analisis terhadap substansi naskah. Penulis mulai menyampaikan pesan moral apa yang terdapat di dalam naskah tersebut kepada para pembaca.
Di dalam penelitiannya karya ini berangkat dari enam naskah yang ditemukannya secara berbeda-beda penyusunannya. Bagian utama dari keenam naskah itu secara bahasa dalam mengungkapkan susunan kalimat-kalimatnya dan isi kandungan ajaran di dalamnya dapat dikatakan sama persis. Namun dalam konteks ini, Simuh mendasarkan obyek utama penelitiannya ini pada naskah yang diterbitkan oleh Administrasi Jawi Kandha, karena naskah ini dianggap cukup representative dan memadai. Sementara kelima naskah yang lain digunakan sebagai bahan pelengkap dan pembanding saja.[2] 
Diantara empat naskah terkait yang merupakan karya Ranggawarsita tentang Wirid Hidayat Jati yang ditemukan di Surakarta, Yogyakarta, dan Jakarta. Sementara dua naskah lainnya berupa masnuskrip ditemukan sewaktu Simuh studi di Australia, sedangkan yang aslinya berada di Leiden. Keenam naskah tersebut dapat dilihat sekilas informasinya sebagai berikut:
Naskah ke-
Judul naskah
Nama Penerbit
Kota Tempat Terbit
Tahun
Huruf dan Bahasa
Jumlah Halaman
Tempat Naskah berada
I
Wirid Hidayat Jati
Administrasi Jawi Kandha
Surakarta
1908
Jawa Krama (bahasa Jawa Halus)
95
Surakarta
II
Warahing Hidayat Jati dan Warahing Maklumat Jati
Honggopradoto (cucu Ranggawarsita)
Surakarta
1941
Latin & Jawa Krama
104
Indonesia (?)
III
Wirid Hidayat Jati
Tanaya
Surakarta
1954
Latin & Jawa Krama
73
Indonesia (?)
IV
Serat Wirid Hidayat Jati
Tan Khoen Swie
Kediri
1959
-
-
Indonesia (?)
V
Serat Makrifat
 Salinan P.W. Van Den Broek
-
-
Latin
-
Leiden
VI
-

-
-
-
-
Leiden
Keterangan: kedua naskah terakhir, berbentuk manuskrip. Manuskrip ke-5 diterima dari DR. Anthony Day (dosen Universitas Sydney). Dan manuskrip ke-6 berbentuk mikrofilm, yang diterima dari Prof.H.A.Johns (ketua Jurusan Bahasa dan Kepustakaan Indonesia di Australian National University /ANU, Canberra).

C.    Kandungan Naskah Wirid Hidayat Jati dalam Pandangan Simuh
Isi atau kandungan naskah Wirid Hidayat Jati Karya Ranggawarsita ini adalah secara pokok berisi mengenai ajaran-ajaran tasawuf dalam perspektif kultur jawa. Setidaknya perbincangan mengenai konsep Tuhan tidak luput dari diskusi yang sangat menarik, sangat kental dengan nuansa Wahdatul Wujud konsep Ibnu Arabi atau dalam kultur Jawa yang lebih populer dengan istilah Manunggaling Kawula Gusti. Penjelasan hakikat manusia itu tidak terlepas dari Dzat Tuhan sebagai pencipta alam semesta. Secara detail, menurut Simuh isi ajaran dalam Serat Wirid Hidayat Jati adalah sebagai berikut ini: [3] 
  1. Upacara dan perlengkapan sajian yang harus diselenggarakan oleh seorang guru yang akan mengajarkan ilmu mistik.
  2. Uraian bab guru dan murid.
  3. Ajaran tentang Tuhan dan hubungan antara Dzat, sifat, asma, dan af’al Tuhan.
  4. Jalan untuk mencapai penghayatan gaib dan kesatuan dengan Tuhan.
  5. Tingkat-tingkat penghayatan gaib beserta godaan-godaan yang terdapat dalam tingkat-tingkat tersebut.
  6. Aspek budi luhur beserta berbagai ajaran yang berkaitan dengan mistik.
Menurut Simuh, di dalam naskah Wirid Hidayat Jati mengajarkan tentang paham kesatuan antara manusia dengan Tuhan. Paham ini menyatakan bahwa manusia bersal dari Tuhan, maka manusia harus berusaha untuk dapat bersatu kembali dengan Tuhan. Kesatuan kembali antara manusia dengan Tuhan di dunia bias dicapai melalui penghayatan mistis, seperti pada umumnya dalam setiap ajaran mistik. Akan tetapi kesatuan yang sempurna antara manusia dan Tuhan menurut Wirid Hidayat Jati sesudah datangnya ajal.[4]   
Selanjutnya diterangkan pula, bahwa manusia yang sanggup mencapai penghayatan kesatuan dengan Tuhan, akan menjadi orang yang waskita dan menjadi manusia yang sempurna hidupnya. Manusia yang tingkah lakunya mencerminkan perbuatan-perbuatan Tuhan, sebagaimana sabda Tuhan, mendengar, melihat, merasakan segala rasa, serta berbuat mempergunakan tubuh manusia.[5] Atau dengan ungkapan yang berbeda, bahwa manakala manusia mampu mencapai posisi derajat Tuhan maka Tuhan berbicara dengan menggunakan mulut munusia, mendengar dengan telinga manusia, melihat dengan mata manusia, dan seterusnya, inilah yang kemudian dalam istilah tasawuf dikenal dengan penghayatan fana fi llahi.[6] Maksudnya adalah manusia berada dalam kondisi “mabuk ketuhanan”, saat itu sebagai manusia biasa ia sudah tidak lagi menyadari akan dirinya, yang ada dibawah alam sadarnya adalah hanya Tuhan semata. Maka dalam posisi ini, seringkali seorang manusia mengatakan “Aku adalah Tuhan”, yang sulit dipahami oleh nalar manusia biasa.  Demikianlah sekilas isi kandungan Wirid Hiadayat Jati, dan untuk lebih lengkapnya dianjurkan untuk membacanya.
D.    Penutup
Sebagai catatan penutup dari review ini, ada beberapa poin penting yang perlu digarisbawahi. Pertama, Karya Simuh ini menunjukkan kepada kita, bahwa pemikiran Islam yang berkembang pada saat itu, khususnya di Jawa adalah pemikiran Islam yang bernuansakan tasawuf walapun dalam perspektif kultur Jawa, sesuai kearifan lokal setempat, dimana Islam berkembang dan diterima menjadi sebuah keyakinan bagi para pengikutnya. Kedua, naskah Ranggawarsita yang kemudian dipublikasikan melalui karya penelitian Simuh ini, merupakan karya standard dan kekayaan warisan intelektual pada zamannya yang penting untuk dilestarikan, sehingga generasi berikutnya masih dapat mengenali warisan berharga ini dan tidak melewatkan atau melupakannya begitu saja. Ketiga, Karya ini dapat menjadi salah satu rujukan penting sebagai salah satu model dalam studi sumber naskah klasik yang khas nusantara, yakni dalam memahami model keberagamaan Islam lokal Indonesia dengan mempertimbangkan ajaran al-Qur’an dan hadist sebagai sumber utamanya, serta tidak melupakan setting sosial-politik, ekonomi, dan kultur yang mengitarinya dimana tempat ajaran Islam tumbuh dan berkembang. Inilah konteks dimana kearifan sikap keberagamaan lahir, yang akan membawa pada kemampuan toleransi dalam kehidupan umat beragama dalam cakupan lebih luas dalam kehidupan berbangsa yang heterogen baik dari segi bahasa, suku, dan agamanya.
      Wallahu A’lam bi al-Sawab ***






[1] Simuh, Mistik Islam Kejawen Raden Ngabehi Ranggawarsita, (Jakarta: UI Press, 1988), 3.

[2] Ibid., 8.
[3] Ibid., 4.
[4] Ibid., 282.
[5] Ibid.
[6] Ibid., 291.

Arti Sebuah Nama


Pada suatu hari, aku memperoleh pesan dari seorang sahabat baik, kolega di kantor. Gagasan nama "cantik" yang kita berikan kepada orang lain, seringkali membuat yang bersangkutan semakin superior dan memposisikan diri kita sebagai inferiority person. Hal ini dapat berdampak pada relasi sosial yang kurang nyaman, tidak egaliter, dan tentu saja membangun self convidence berlebihan. Bahkan dapat pula memperkokoh tindakan-tindakan irrasional demi mencapai egoisme relasi gender yang tidak setara, dalam meluluhkan target bidikannya. Terimakasih sahabat, kau telah memberikan pencerahan yang sangat berharga.

Kamis, 18 November 2010

Tetaplah di Sini…..


Baru saja kau pergi
Setelah menghiasi lembaran
Diary di meja dan buku tulisku
Kau t’lah beri warna cerita hidup yang lain

Kemarin kau datang
Dengan segenggam senyum dan semangat
Kau tawarkan canda dan asa baru
Setetes kata cinta kau taburkan
Lewat nyanyian dalam taburan bintang

Dikeheningan malam
Dan deburan ombak
Terdengar sayup-sayup
Kau pun melangkah dan memasuki ruang belajarku
Kau rebahkan bahumu yang lincah
Bak merpati putih yang terpeleset jatuh
Dari ketinggian terbangnya
Tersangkut di antara ruang dan meja belajarku

Malam itu, di tengah cuaca yang dingin
Tiba-tiba ku terbuai dengan
Suara alunan gitarmu yang merdu
Akupun tersungkur
Tak berdaya….tertengadah….terpana…..
Coretan-coretanmu yang kau buang di kamarku
Terasa smakin membuatku tak berdaya
Kakiku  terasa lemah,
Sekujur tubuhku lemas, lunglai
dan Aku terjatuh….
Ku tak kuasa menahan beban taburan dawai melody
Yang kau dengdangkan
Dengan suara merdu nan syahdu

Namun……
Nyanyian indahmu hanya sebentar
Kau singgah di rumahku tidak lama
Kau….segera bergegas pergi
Dengan membawa sepotong hati
Kau langkahkan kaki berjalan ke luar dari rumahku….
terbang tinggi, entah kemana
bersamaan gema takbir  ‘Idul Adha

Jangan pergi….
Tetaplah di sini……bisikku
Namun kau t’lah jauh menghilang
Tiada kulihat lagi bayangmu
Tiada kudengar lagi suaramu
Alunan musik dan suara emasmu
Tinggal kenangan
Biarlah ku ‘kan mengingatmu
Sembari mencatat namamu
dengan “Tinta Emas” di sini…..
Di sudut kamarku dan meja belajarku

Bumi Allah, 18 November 2010